Tempo.Co

Komisi III Pertanyakan Dasar Hukum Penyadapan KPK
Rabu, 27 September 2017
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai lebih berpatokan pada pandangan-pandangan beberapa orang daripada undang-undang.

Salah satu pembahasan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat rapat dengar pendapat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai masalah penyadapan dan meminta penjelasan atas ketidakhadiran KPK memenuhi undangan Panitia Angket KPK.

Anggota Komisi III DPR, John Kennedy Azis, mengatakan KPK adalah institusi penegak hukum sehingga harus taat pada hukum. “Tapi, secara pribadi saya kecewa. Sebab rupanya KPK lebih taat pada pendapat-pendapat atau pandangan yang disampaikan beberapa orang. Padahal, di sisi lain, Panitia Angket itu sekarang sudah ada berita negaranya. Menurut kami, suatu yang harus dipatuhi dan dijalankan siapa pun di republik ini. Namun ternyata KPK lebih berpatokan pada pandangan-pandangan tersebut daripada undang-undang,” ujarnya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 26 September 2017.

Menyambung persoalan itu, anggota Komisi III DPR, Aboe Bakar Alhabsyi, juga mempertanyakan mengenai legal standing dalam hal penyadapan. “Karena hal ini dianggap paling mudah melanggar HAM (hak asasi manusia),” katanya. 

Sedangkan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan KPK tidak akan pernah hadir memenuhi panggilan Panitia Angket hingga adanya keputusan hasil judicial review dari Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kami mohon maaf, sekarang, besok, atau lusa, kalau Pansus Angket diperpanjang, kami tidak akan hadir. Karena kami menganggap dasar awal mula Pansus Angket KPK itu adalah mempersoalkan proses penegakan hukum sehingga melahirkan Pansus, yang kami anggap adalah proses politik , ukan proses yang berkaitan dengan penegakan hukum,” ucap Laode.

Ia juga mengatakan KPK meminta pendapat dari banyak orang yang mayoritas berpendapat bahwa KPK bukan subyek dari Panitia Angket KPK. “Karena itu, untuk mencegah terjadinya pro-kontra, kami meminta penafsiran melakukan judicial review di MK. Kalau putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan kami termasuk subyek Panitia Angket, kami akan taat. Mungkin sikap kami tidak akan berubah akan begitu terus sampai dengan adanya putusan MK,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan Dewan terkait landasan dasar apa yang digunakan KPK dalam melakukan penyadapan, Laode menjelaskan, dasarnya adalah Pasal 12 Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf C, KPK berwenang salah satunya melakukan penyadapan serta merekam pembicaraan.

Laode menuturkan KPK tidak akan melakukan penyadapan secara serampangan. Ia juga menerangkan mesin yang digunakan KPK untuk menyadap hanya disetel dalam jangka waktu 30 hari. Lewat dari 30 hari, otomatis tidak akan tersadap, kecuali ada laporan baru, yang juga harus mendapat persetujuan dari semua Pimpinan KPK. (*)