Tempo.Co

Universitas di Perbatasan Butuh Sarpras
Kamis, 28 September 2017
Bidan, perawat, dan guru dari Pulau Jawa yang ditempatkan di perbatasan umumnya tidak bertahan lama bekerja di perbatasan butuh Sarana Prasarana

Panja SN DIKTI Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan rapat dengar pendapat mendapatkan informasi dan masukan yang konkret dari para rektor di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis, 28 September 2017. Rapat ini menghadirkan Rektor dari Universitas Sebelas Maret, Solo, Universitas Tadulako, Palu, Universitas Andalas, Padang, dan Rektor Universitas Borneo Tarakan.

Rektor Universitas Borneo Tarakan Adri Patton mengatakan sarana dan prasarana menjadi ujung tombak mencerdaskan anak bangsa di kawasan Tarakan, Kalimantan Utara. Menurut dia, saat ini, kebutuhan utama adalah menyelesaikan pembangunan gedung fakultas ilmu kesehatan, fakultas pendidikan, juga laboratorium teknik yang masih mangkrak.

Pihaknya telah mengusulkan kepada pemerintah dalam hal ini Kemenristek DIKTI mengganggarkan dalam APBN 2018. Universitas Borneo Tarakan menganggarkan dana Rp 70 miliar untuk menyelesaikan pembangunan sarana dan prasarana itu. Selain kepada Kemenristik DIKTI, upaya membangun sarana dan prasarana perguruan tinggi di wilayah perbatasan itu dilakukan melalui Bappenas dan mencari dana pinjaman lewat Asian Development Bank dan Islamic Development Bank.

Adri berharap universitas yang kini sudah memiliki 5.720 mahasiswa ini kelak menciptakan lulusan perawat, bidan, dan guru yang peduli pada kawasan perbatasan. Dari jumlah semua mahasiswa itu, saat ini ada sekitar 400 mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di fakultas ilmu kesehatan dan fakultas pendidikan.

“Sebab, kalau bidan, perawat, dan guru dari Pulau Jawa ditempatkan di perbatasan, mereka pasti akan kembali. Untuk itulah, kami berharap mendapat perhatian pemerintah karena kami tulang punggungmencetak bidan, perawat, dan guru di perbatasan Tarakan,” katanya.

Rektor Universitas Sebelas Maret mengatakan jumlah dosen yang pensiun tidak sebanding dengan jumlah pengangkatan dosen pegawai negeri sipil. Dijelaskannya bahwa home base dosen berbasis prodi menyebabkan rasio dosen dan mahasiswa menjadi besar. Home base dosen mungkin lebih baik ditingkat fakultas. Selain itu, SN DIKTI tidak secara eksplisit menjelaskan aturan e-learning. Padahal e-learning merupakan suatu kebutuhan dalam proses pembelajaran.

Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah ketika memimpin rapat mengatakan persoalan sarana dan prasarana adalah ranah pemerintah pusa, dalam hal ini Kemeristek DIKTI. DPR menunggu APBN pengajuan pemerintah terlebih dahulu sebelum dibahas bersama anggota DPR.

Permasalahan sertifikasi dosen dan beasiswa bagi dose, yang juga mengemuka di dalam rapat, sebaiknya dibahas bersama Menteri Keuangan. Ke depan, anggota DPR lebih fokus mengawasi perkembangan secara akademis serta peningkatan mutu perguruan tinggi. “Sehingga cetakan perguruan tinggi terserap dan tersertifikasi dengan baik,” ujar Ferdi. (*)