Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mengingatkan pentingnya badan penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), memiliki akses untuk mengetahui apakah e-KTP (kartu tanda penduduk alias KTP elektronik) seseorang itu palsu atau asli. Hal ini untuk menghindari terjadinya kecurangan data pemilih dalam pemilihan serentak pada 2018 dan pemilihan presiden 2019 mendatang.
Dalam diskusi Dialektika Demokrasi Pendataan e-KTP Jelang Pilkada dan Pemilu, di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 September 2017, diketahui harga alat card-reader pembaca keaslian nomor induk kependudukan (NIK) atau KTP senilai Rp 4 juta. Memang cost itu terlalu mahal jika sekitar 600 ribu tempat pemungutan suara harus memiliki card-reader.
“Karena itu kami meminta KPU dan Bawaslu membuat aplikasi dari Kementerian Dalam Negeri, yang dapat memastikan dan mengecek apakah KTP seorang calon pemilih itu asli atau tidak,” katanya.
Lukman mengakui, kendati teknologi mencetak KTP yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri sangat canggih, tapi peluang untuk dipalsukan tetap bisa terjadi, terutama menjelang pemilihan umum. Sampai saat ini ada sekitar 10 juta lebih masyarakat yang tidak bisa melakukan perekaman data diri atau kependudukan e-KTP, sehingga bisa menjadi ancaman bagi legalitas.
Namun dia mendorong agar data penduduk dari Kementerian Dalam Negeri dapat ditata semakin baik untuk pembangunan yang lebih baik.
“Kami mendorong penataan data penduduk demi pembangunan,” ujarnya.
Dalam diskusi itu, Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri I Gede Suratha menjelaskan, saat ini kementerian, lembaga, hingga layanan perbankan dan kesehatan, telah semakin mudah mengakses data kependudukan.
Penyelesaian proyek e-KTP sekarang terseok-seok dan dia berharap masyarakat yang belum memiliki e-KTP bersabar. Kini sudah ada sekitar delapan juta blangko e-KTP yang siap dicetak, walaupun ada beberapa persoalan di daerah, seperti pendataan, gangguan sinyal, kerepotan mengakses online-nya di kecamatan-kecamatan, sehingga inisiatif diambil petugas Dukcapil Kabupaten. “Persoalan-persoalan macam itulah yang membuat keterlambatan pencetakan e-KTP,” ucapnya.
Hingga September 2017, Kementerian Dalam Negeri telah melakukan perekaman e-KTP mencapai 94,98 persen atau sebanyak 175.949.127 juta jiwa penduduk. “Masih ada sekitar 5,02 persen atau 9.000.548 jiwa penduduk yang belum melakukan perekaman elektronik,” tuturnya.
Dengan teknologi yang dimiliki saat ini, Kementerian Dalam Negeri mampu memfilter data seorang penduduk yang memiliki data lebih dari satu. Data e-KTP biometric yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri saat ini telah memberikan banyak solusi, misalnya pencarian data orang hilang oleh Kepolisian hanya dengan sidik jari atau cek iris mata. (*)