INFO DPR - Wakil Ketua Komisi V DPR RI Michael Wattimena mengatakan Komisi V akan membantu pembangunan perpanjangan run way Bandara Udara (Bandara) Mathilda Batlayeri di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat (MTB).
“Bandara saat ini ukuran run way-nya baru 1.641 meter, sementara untuk pesawat berbadan besar dibutuhkan minimal 1.800 sampai 2.500 meter. Tahun 2017 ini, Pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI sudah menganggarkan sekitar 209 meter. Sehingga, saat ini panjangnya menjadi 1.850 meter. Tahun 2018, kita akan membuat sampai 2.000 dan kemudian ke depan menjadi 2.500,” ujar Michael di sela-sela peninjauan pembangunan perpanjangan run way Bandara Udara Mathilda Batlayeri di Saumlaki, beberapa hari lalu.
Bandara Udara Mathilda Batlayeri di Saumlaki, MTB, mulai dioperasikan 9 Mei 2014 dan bisa didarati pesawat jenis ATR-72 atau Wings. Pengoperasian bandara ini untuk mendukung kelancaran pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial, serta kegiatan kontraktor eksplorasi pengeboran pada lapangan gas abadi di Blok Masela. “Tujuan Komisi V ke bandara ini adalah untuk melihat dari dekat pembangunan yang dibiaya APBN tahun 2017. Dan sementara berjalan, kita akan usahakan ke depan pada tahun 2018 akan memprogramkan sampai 2.000 meter,” tutur politisi dapil Papua Barat ini.
Kepala Bandara Udara Mathilda Batlayeri, Humam, memaparkan tahun 2017 ini ada pekerjaan perpanjangan run way menjadi 1.850 X 30 meter, dan target pada tahun 2018 perpanjangan run way menjadi 2.000 x 45 meter.
Humam menyampaikan bahwa pengembangan bandara terkendala antara lain belum tersedianya Depo Pengisian Bahan Bakar Pesawat Udara (DPBU). “Pesawat Garuda kapasitas 72 seat hanya bisa terisi 60 seat, hal ini dilakukan agar bahan bakar cukup untuk penerbangan Ambon-Saumlaki-Ambon,” ucapnya.
Diharapkan, tahun depan DPBU bisa direalisasikan berada di Bandara Udara Mathilda Batalyeri Saumlaki ini untuk menunjang operasional. “Karena, walaupun kita memiliki run way 2.000 x 45, kalau belum tersedia DPBU, pesawat boeing pun belum bisa mendarat di sini,” ujar Humam.
Selain DPBU, yang menjadi kendala di bandara ini adalah belum siapnya fasilitas tower bandara. “Tower yang ada saat ini dan dibangun dengan APBN, pada tahun 2013 baru selesai pembangunan rangkanya saja. Pembangunannya dilakukan dengan tiga tahap yaitu 2013, 2014, dan 2015. Tahun 2015 penyelesaian tidak bisa dilakukan karena sudah terbentuk Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI), sehingga terkait dengan pengembangan tower dan peralatan navigasi semua menjadi kewenangan LPPNPI atau Airnav,” tutur Humam.
Saat ini, bandara tidak bisa melanjutkan penyelesaian pembangunan dari tower tersebut. Humam mengaku sudah berkoordinasi dengan LPPNPI yang menyatakan siap untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. “Hanya terkendala aset, karena asetnya belum dihibahkan dari Kementerian Perhubungan ke LPPNPI,” katanya. (*)