Ikthisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) beserta Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester I tahun 2017 diharapkan menjadi acuan dasar pengalokasian anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada Kementerian atau Lembaga (K/L). IHPS yang diserahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kepada DPR RI, didorong bukan sebatas rutinitas atau laporan administratif.
Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan menekankan, Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara didorong menggunakan IHPS sebagai dasar pemberian alokasi anggaran berdasar kinerja K/L. Sehingga, alokasi keuangan negara ke setiap K/L, dapat disesuaikan dengan kinerja masing-masing K/L dalam opini yang diberikan oleh BPK RI.
“Jangan sampai K/L yang mendapat opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer opinion diberi anggaran lebih. Jangan juga, K/L yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) disamakan dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),” kata Taufik usai memimpin Rapat Paripurna dengan agenda penyampaian IHPS I dari Ketua BPK RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 Oktober 2017.
Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan itu memastikan, IHPS ini merupakan kewajiban kontitusional BPK RI yang harus disampaikan ke DPR RI. DPR RI pun akan meneruskan IHPS ini kepada Alat Kelengkapan Dewan (AKD) atau komisi terkait, untuk ditindaklanjuti.
“Kita harapkan setiap komisi dapat menindaklanjuti IHPS itu sesuai dengan mitra kerjanya masing-masing. Dan pengawasan yang dilakukan komisi bukan hanya sekadar rutinitas, tapi dioptimalkan,” pesan politisi F-PAN itu.
Sebelumnya, Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, IHPS I memuat 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Dari sejumlah LHP itu, terungkap sebanyak 9.729 temuan yang meliputi 14.997 permasalahan yang berpotensi merugikan negara senilai Rp 27,39 triliun. Sebanyak 687 LHP itu terdiri dari 113 LHP pemerintah pusat, 537 LHP pemerintah daerah, dan 37 LHP BUMN dan badan lainnya.
Moermahadi memaparkan permasalahan tersebut meliputi 7.284 (49 persen) kelemahan sistem pengendalian internal (SPI), 7.549 (50 persen) ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 25,14 triliun serta 164 (1 persen) permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 2,25 triliun.
Permasalahan ketidakpatuhan mengakibatkan kerugian sebanyak 3.135 (67 persen) senilai Rp 1,81 triliun dan potensi kerugian sebanyak 484 (10 persen) senilai Rp 4,89 triliun, serta kekurangan penerimaan sebanyak 1.088 (23 persen) senilai Rp 18,44 triliun.
“Atas permasalahan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan tersebut, pada saat pemeriksaan, entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara maupun daerah sebesar Rp 509,61 miliar atau 2 persen,” urai Moermahadi.
Moermahadi menambahkan, hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Atau Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) tahun 2016 menunjukkan bahwa 73 LKKL (termasuk LK BPK) dan 1 LKBUN memperoleh opini WTP, 8 LKKL memperoleh opini WDP, dan 6 LKKL telah memperoleh opini TMP.
Sementara dari 537 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2016, menunjukkan bahwa 375 LKPD memperoleh opini WTP, 139 LKP mendapat opini WDP, dan 23 LKPD memperoleh opini TMP.(*)