Komitmen Indonesia menjalankan Paris Agreement memerlukan kebersamaan dari seluruh pihak terkait, pemerintah, parlemen maupun stakeholder dan masyarakat. Salah satu wujud komitmen itu adalah melalui Inaugural Meeting The Parliamentary Role in Meeting the Clean Air Challenge di Gedung Parlemen, Kamis 5 Oktober 2017. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama antara Kaukus Ekonomi Hijau (Green Economy Kaukus) DPR dengan Air Quality Asia yang bermarkas di New York, Amerika Serikat.
Acara dibuka Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar sebagai pembicara kunci mengatakan bahwa peran pemerintah dalam mengimplementasikan Paris Agreement menciptakan udara bersih mengacu pada ketentuan perundang-undangan. Selain itu, pemerintah juga mengganggarkan dana untuk menurunkan perusak polusi udara dan lingkungan di Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan bahwa pertemuan Inaugural Meeting ini fokusnya adalah pada kesadaran Indonesia terhadap polusi udara. Sebab manajemen polusi udara mencerminkan bagaimana mengelola ekonomi Indonesia secara nasional.
“Maka di dalam teori ekonomi jarang ada yang namanya air polution economy, karena bagi negara yang menganut air polution economy mereka betul-betul bisa menekan emisi. Apabila sebuah negara menekan emisi karbon maka semua pembangunan, segala macam aspek yang menyangkut mengenai polusi, ditekan sedemikan rupa sehingga akan mempengaruhi perilaku kehidupan manusia di masa yang akan datang,” kata Satya.
Kegiatan ini merupakan komitmen Indonesia di dalam sustainable development goals dan tercermin di dalam ratifikasi Perjanjian Paris. Dalam ratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia berambisi menekan emisi gas karbon hingga sampai 29 persen pada 2030 dan 41 persen sampai 2030 apabila menggunakan bantuan asing.
Maka untuk mencapai muatan yang tertera dalam sustainable development goals atau Perjanjian Paris, diperlukan dukungan, tidak hanya dari pemerintah dan dari parlemen, tetapi dari semua, termasuk civil society. Itu memerlukan kebersamaan semua pihak untuk mematuhinya. “Bagaimana kita hidup di negara yang menekankan polusi udaranya. Polusi udara itu tidak bisa disepelekan,” ujar Satya.
Implimentasi menerapkan manajemen polusi udara yang bersih akan berdampak pada banyak aspek seperti transportasi. Transportasi harus menggunakan bahan bakar yang bersih, kalaupun menggunakan diesel harus menggunakan emisi standar euro 4 atau euro 5 atau harus menggunakan bahan bakar gas.
Dari sisi listrik, powerplan tidak boleh terlalu banyak menggunakan batubara, harus menggunakan emisi baru dan terbarukan yang lebih bersih dan bisa juga menggunakan gas. Sehingga itu bagian menjaga agar masyarakat tidak terkena dan terjangkit penyakit asma.
Untuk memantau polusi udara sekitar yang bersih perlu dimonitor di setiap kota. Satya mendorong melalui APBN untuk membeli air quality system yang bisa diterapkan di seluruh kota, paling tidak ibukota provinsi dan titik yang paling rawan terhadap polusi. “Kita harus punya alat untuk mengukur kualitas udara kita,” ujarnya.
Sementara itu, Johan Kieft dari UN Environment mengatakan bahwa saat ini Indonesia sudah meningkatkan upayanya mengurangi emisi gas karbon. Beberapa kebijakan yang mendukung dari pemerintah dan parlemen, terutama dalam hal gambut semakin baik seperti tertuang dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Dalam kebijakan mengenai gambut, ini terobosan yang maju,” ujar Kieft.
Tidak hanya itu, dari pengamatannya, berkurangnya polusi udara di Indonesia selama satu dekade terakhir juga karena pemahaman masyarakat. Contoh sederhana, saat ini sudah tidak ada lagi masyarakat yang membakar sampah di lingkungan tempat tinggalnya. (*)