Di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) masih terjadi perdebatan. Menurut anggota Komisi II DPR, TB. H. Ace Hasan Syadzily dalam diskusi Forum Legislasi bertema “Babak Akhir Pembahasan Perppu Ormas?”, masing-masing fraksi di Komisi II DPR belum menyampaikan pendapatnya. “Kami berharap fraksi pendukung pemerintah mempunyai pandangan yang sama dengan Fraksi Partai Golkar,” ujarnya, di Komplek Parlemen, Senayan, Selasa, 10 Oktober 2017.
Golkar akan menerima Perppu ini dengan alasan yang kuat, sebab dalam kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah nyata menyebut Pancasila sebagai sistem yang tidak relevan dan akan mendeklarasikan negara khilafah.
Perppu Ormas tersebut targetnya selesai pada 24 Oktober 2017. DPR hanya akan memberikan justifikasi menerima atau menolak Perppu tersebut dan itu akan dibahas di Paripurna DPR pada 24 Oktober.
Komisi II DPR sudah menampung aspirasi masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada Senin, 16 Oktober 2017, akan digelar rapat internal bersama para pakar, ormas, akademisi, dan pihak-pihak terkait, untuk dimintai masukan tentang Perppu Ormas tersebut dan dilanjutkan pada Kamis, 19 Oktober 2017.
Kemudian, Jumat, 20 Oktober 2017, Komisi II akan mendengarkan pandangan para Fraksi DPR dan hasilnya disampaikan pada Paripurna DPR.
Golkar, kata Ace, akan mengusulkan untuk mendatangkan Panglima TNI, Kapolri, BIN, dan Menteri Agama, karena Perppu Ormas ini terkait dengan semua institusi negara tersebut.
“Golkar akan berhadapan langsung dengan ormas yang merongrong Pancasila dan mengancam kedaulatan negara. Sedangkan HTI sudah ada di 32 provinsi, ormas itu siap mengganti Pancasila dengan khilafah. Itu jelas mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain HTI, kita siap berhadapan dengan sparatisme dan terorisme,” katanya.
Pengamat Politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, sebagai narasumber dalam diskusi tersebut, mengatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas dianggap mengembalikan kewenangan negara sebanyak 80 persen, dalam mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun diakuinya masih ada beberapa poin penting yang harus dibahas lebih lanjut, misalnya ketentuan tentang kriteria yang berbeda dengan Pancasila itu apa saja. “Selama ini tidak pernah dirumuskan apa-apa saja yang bertentangan dengan Pancasila,” ucapnya.
Selain itu, harus diatur juga proses peradilan, di mana selama ini pembubaran ormas dilakukan oleh negara. Padahal idealnya, ormas dibubarkan pengadilan, berdasarkan putusan pengadilan itu pemerintah mencabut status ormas dan pencabutannya diadministrasikan pemerintah.
Ray mengakui, efek atas berlakunya Perppu Ormas ini adalah kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun dengan adanya kasus HTI, Ray mengatakan inilah saatnya menjadi penentu apakah kewenangan negara yang akan dikedepankan atau kebebasan masyarakat menyatakan pendapatnya. Untuk persoalan HTI, organisasi ini dinilainya tidak jujur pada diri sendiri, yang ingin membubarkan NKRI dan tidak berlandaskan Pancasila. Organisasi HTI seharusnya dikenakan sanksi pembubaran dan administrasi. (*)