Tempo.Co

Densus Tipikor Cukup Diatur dalam SK Kapolri
Kamis, 19 Oktober 2017
Densus Tipikor cukup diatur dalam SK Polri

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah mengatakan keberadaan unit khusus menangani korupsi atau Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Korupsi) di Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) tidak perlu diatur di dalam undang-undang baru. Dia mengatakan keberadaan unit khusus ini cukup melalui surat keputusan (SK) Kapolri saja.

“Dalam penanganan korupsi ini hanya memerlukan SK Kapolri, tidak perlu undang-undang,” ucapnya kepada media, di Gedung Parlemen Senayan, Kamis, 19 Oktober 2017.

Fahri membantah jika antara pemerintah dan legislatif tidak terjalin komunikasi mengenai pembahasan penanganan korupsi.

Fahri mengatakan politik pemberantasan korupsi itu adalah kewenangan Presiden dan DPR, bukan menjadi ranah kewenangan para penegak hukum. Pembicaraan mengenai penanganan korupsi ini sudah dilakukan kedua lembaga negara itu, yakni Presiden melalui Kapolri dan DPR dengan pemabahasan di Komisi III DPR, yang memang berkewenangan mengurusi persoalan dalam ruang lingkup hukum, hak asasi manusia, dan keamanan.

“Presiden mengutus Kapolri dan membahasnya dengan DPR karena Polri adalah bagian dari pemerintah. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga diundang jaksa agung dan sudah terjadi pembahasan. Utusan Presiden seharusnya sudah membahas ini di Istana, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, untuk mengetahui apa yang berkembang di DPR,” katanya.

Setelah melalui rapat di pemerintahan, hasil keputusan disampaikan lagi secara formal kepada DPR melalui Komisi III. Setelah dari Komisi III keputusan itu dibawa ke Badan Musyawarah dan Rapat Paripurna menjadi konsekuensi.

Fahri berharap Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan politiknya mengenai pembahasan pemberantasan korupsi ini.

Menyoal anggaran untuk Densus Tipikor, menurut Fahri, belum saatnya hal ini dibahas. Lantaran saat ini masih dibicarakan konsepnya. Bahwa keberadaan KPK lahir karena belum maksimalnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi selama 15 tahun. Dia menganalogikan keberadaan KPK ibarat mesin trigger yang menjadi pemicu agar komponen berjalan semakin cepat. Hasilnya, sejak keberadaan KPK, isu korupsi semakin sering ditangani dengan tertangkapnya sejumlah pelaku.  

“Karena itu, menurut undang-undang, saya usulkan jika KPK men-trigger pelayanan publik. Selama ini penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sudah jalan, maka untuk menyambut itu di Kepolisian dibentuk direktorat khusus yang menangani tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Menurut dia, Kejaksaan dan Kepolisian tidak perlu disatukan dalam unit tersebut, sebab selama ini telah terjadi penyalahgunaan kewenangan. Di KPK, telah terjadi kesalahan pada penyidikan yang tidak dikoreksi di penuntutan malah dibenarkan.

“Itu salah dan bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, unit ini hanya ada di kepolisian, begitu siap dituntut, baru masuk ranah kejaksaan,” tuturnya. (*)