Substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan diharapkan tidak menjadi beban atau mempersulit petani Indonesia untuk berkreativitas. Sebaiknya RUU ini kelak akan menjadi sarana petani untuk semakin mudah mengembangkan diri.
Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Soebagyo ketika memimpin rapat kajian harmonisasi RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mengatakan undang-undang ini dibuat untuk kepastian hukum sehingga mampu memenuhi hak petani Indonesia yang masih tradisional serta konvensional.
“Petani kita yang masih tradisional dan konvensional ini diharapkan tetap memiliki kreativitas serta tradisi dalam sistem masyarakat Indonesia. Hal ini ditertuang dalam Undang-Undang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan,” ujar Firman di gedung Parlemen, Senin, 23 Oktober 2017
Lebih lanjut, kata Firman, ada tiga tipe petani di Indonesia, yakni petani penyewa lahan, petani pekerja, dan pemilik lahan sendiri. Faktanya petani pemilik lahan umumnya hanya mempunyai areal pertanian maksimal seluas 1 hektare.
Karena itu, pasal-pasal yang ada di dalam RUU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan ini harus dipertajam lagi dan dilakukan harmonisasi dengan ketentuan perundangan lain yang sudah ada.
“Sehingga kehadiran petani kita tidak degradasi, tapi diperkuat di dalam undang-undang ini. Regulasi ini jangan malah membelenggu petani Indonesia. Jangan sampai namanya Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan, tapi pada kenyataannya tidak lanjut-lanjut ,” katanya menegaskan.
Sedangkan aggota Badan Legislasi, Yayuk Sri Rahayuningsih, berharap staf ahli di Badan Legislasi DPR juga ikut membantu menyisir pasal-pasal dalam RUU ini yang dinilai mempersempit ruang dan gerak petani agar ditiadakan atau dibahas lebih lanjut sehingga judul dalam RUU itu tidak mematikan petani serta peran masyarakat.
Masukan ini, kata Firman, akan menjadi pembahasan pada rapat panitia kerja yang akan dipimpinnya pada pertemuan selanjutnya. (*)