INFO DPR - Perempuan ikut dalam banyak aktivitas politiklah bukan hal baru lagi. Para perempuan di dunia bisa ikut mengambil keputusan penting menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk itu, para perempuan dari seluruh parlemen di dunia mendesak pemberdayaan secara politis.
Keinginan ini disampaikan dalam pertemuan Women in Parliaments Global Forum (WIP) 2016 di Yordania pada 4 hingga 5 Mei 2016. Ada 260 anggota parlemen perempuan dunia yang terlibat dari 89 negara peserta. Acara dibuka oleh perwakilan Raja Yordania atau Ketua Majelis Tinggi (Senat), Faisal Fayez, di ruang sidang Parlemen Yordania. Kegiatan ini adalah pertemuan pertama yang diadakan di kawasan Timur Tengah.
Fayez menyatakan bahwa perempuan harus memiliki peran utama dalam perundingan perdamaian dan pembangunan kembali daerah yang terkena konflik. Tanpa melibatkan peran perempuan, tujuan itu sulit tercapai.
Karena isu penting itulah DPR RI pun mengutus delegasinya ke pertemuan tersebut yang diwakili oleh Anggota DPR RI Sarwobudi Wiryanti Sukamdani dan Amelia Anggraini.
Di forum itu Wiryanti memaparkan bahwa pada periode 2014-2019, perempuan Indonesia menempati 17,3 persen kursi parlemen di DPR. Angka ini lebih rendah daripada periode sebelumnya yakni tahun 2009 hingga 2014 yang mencapai 18,3 persen kursi parlemen.
Kendati demikian, Indonesia sudah memiliki tindakan afirmatif berupa penetapan kuota perempuan 30 persen dalam pencalonan anggota legislatif. Bahkan, dalam kesetaraan gender, Indonesia sudah memiliki presiden wanita pertama yaitu Megawati Soekarnoputri Presiden kelima untuk masa kepemimpinan 2001 hingga 2004.
Pada masa pemerintahan Megawati, berbagai produk legislasi untuk melindungi kaum perempuan juga sudah dihasilkan. Misalnya, UU No.23/2004 yang menjamin penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dan UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan yang menjamin hak-hak perempuan untuk mengambil cuti pada kehamilan dan periode menstruasi. Kini, DPR juga sedang membahas RUU tentang kesetaraan gender.
Sementara Amelia Anggraini menyampaikan bahwa partisipasi perempuan dalam politik telah membawa perbedaan. Perempuan membawa perspektif yang berbeda dalam berpolitik. Dengan keterwakilan perempuan di parlemen, kekerasan politik terhadap perempuan pun bisa diperangi. UU yang dihasilkan memiliki efek positif pada penghargaan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Kemajuan ini, sambung Amelia, telah diwujudkan dalam ratifikasi perjanjian internasional, pengesahan UU, dan pembentukan kebijakan kelembagaan serta program yang membahas isu-isu perempuan. Kini, sudah ada kesetaraan dan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki untuk menjadi kandidat wali kota, bupati, gubernur, atau anggota legislatif, termasuk presiden.