Tempo.Co

Lemahnya Kepemimpinan Jokowi Akibatkan Target Pertumbuhan Gagal
Rabu, 25 Oktober 2017
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan

Lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat target pertumbuhan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mengalami kegagalan. Ini terlihat dari realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 yang hanya 4,79 persen, 5,02 persen di 2016, dan 2017 diperkirakan tidak lebih dari 5,15 persen, serta 2018 maksimal sebesar 5,4 persen.

Jadi, rata-rata pertumbuhan ekonomi lima tahun Pemerintahan Joko Widodo maksimal hanya sebesar 5,25 persen. Padahal, Indonesia sangat membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi di atas tujuh persen untuk mengejar ketertinggalan dan sekaligus menyiapkan diri menyongsong bonus demografi pada dekade 2020. “Fakta ini bisa membalikkan keadaan dari bonus demografi menjadi bahaya demografi,” kata Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya, Rabu, 25 Oktober 2017.

Menurut politisi Partai Gerindra ini, pertumbuhan sebesar lima persen sangat tanggung mengingat pendapatan per kapita masih sebesar US$ 3.900. Dia menilai banyak kegagalan yang dilakukan pemerintah seperti gagal menghilangkan ketidakpastian regulasi dan memangkas birokrasi yang panjang sehingga investor asing banyak yang tidak ingin masuk ke Indonesia.

Pemerintah juga gagal mengurangi warga miskin. Hal itu dibuktikan dengan ada penambahan warga miskin sebanyak hampir tujuh ribu jiwa dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017. Karena itu, pemerintah dalam setiap kebijakan harus berpihak kepada rakyat miskin. Kebijakan otomatisasi pintu jalan tol juga berpotensi menambah pengangguran, yang pada akhirnya akan menambah warga miskin. Belum lagi, subsidi pelanggan listrik 900 watt dengan pola baru akhirnya akan menambah jumlah warga miskin.

“Pembangunan proyek-proyek infrastruktur hendaknya dilakukan pula berdasarkan skala prioritas dan kemampuan anggaran serta tepat nalar. Adalah tidak tepat nalar jika kereta api Jakarta-Surabaya menggunakan kereta api dengan kecepatan 150 kilometer per jam, tapi Jakarta-Bandung menggunakan kereta api dengan kecepatan 300 kilometer per jam,” ujar Heri.

Pada bagian lain, keinginan pemerintah memaksa BUMN untuk ikut serta dalam investasi proyek proyek infrastruktur yang di luar kemampuan keuangannya, akan mencelakakan BUMN itu sendiri. PLN adalah contoh konkrit. Heri juga menolak wacana penjualan BUMN. “Seharusnya BUMN kita dikuatkan dan dikelola secara profesional seperti dilakukan Tiongkok terhadap BUMN-nya,” ucap Heri.

Sementara di bidang fiskal 2018, pemerintah gagal meningkatkan rasio pendapatan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan tidak mampu menahan anjlognya rasio tersebut menjadi sebesar 12,6 persen dalam RAPBN 2018. Penurunan tajam rasio tersebut dari 19,8 persen pada tahun 2008 dan menjadi sebesar 12,6 persen dalam RAPBN 2018, mengakibatkan pemerintah berada dalam krisis pendapatan. “Realitas tersebut membuat pemerintah semakin tergantung pada utang dan sempitnya ruang fiskal mengakibatkan rakyat tambah menderita,” ujar politisi dari dapil Jabar IV ini.

Utang pemerintah hingga akhir Agustus 2017 mencapai Rp 3.825 triliun dan diperkirakan terus bertambah pada akhir tahun 2017 menjadi Rp 4.000 triliun (termasuk front loading) atau sebesar 29,4 persen dari PDB.

Pemerintah juga dinilai gagal meningkatkan tax ratioTax ratio 2017 maksimal hanya 9,72 persen atau sebesar Rp 1.322 triliun. Itu disebabkan penerimaan perpajakan sampai akhir September 2017 hanya sebesar Rp 874,2 triliun atau 59,36 persen dari target APBNP 2017 sebesar Rp 1.472,7 triliun.

“Perkiraan kami atas penerimaan perpajakan tahun anggaran 2017 maksimal hanya sebesar Rp 1.322 triliun. Hal tersebut didasarkan potensi shortfall penerimaan perpajakan minimal sebesar Rp 150 triliun. Karena itu, target penerimaan perpajakan RAPBN 2018 sebesar Rp 1.609,4 triliun tidak akan tercapai, sebab akan terjadi shortfall minimal sebesar Rp100 triliun,” kata Heri.

Ditambahkannya, Fraksi Gerindra tidak setuju dengan postur RAPBN 2018 karena target belanja dan pertumbuhan ekonomi terlampau rendah. “Namun, jika itu yang diyakini pemerintah, kami persilakan pemerintah melaksanakan. Semoga berguna bagi negara dan bangsa,” ujarnya. (*)