Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha menilai harus ada penelitian lebih lanjut dan menjadikan rujukan atas temuan Greenpeace dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. PLTU Batang akan mengeluarkan sekitar 10,8 juta ton karbon atau lebih dari seluruh emisi karbon yang dihasilkan oleh Myanmar di tahun 2009) dan 226 kg merkuri setiap tahunnya.
“Ini yang perlu mendapatkan tindak lanjut, jangan sampai apa yang disinyalir oleh Greenpeace menjadi kenyataan. Karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi Minamata tahun 2017 yang tidak mengizinkan adanya cemaran merkuri dalam aktivitas industri terutama pertambangan atau juga industri yang menggunakan hasil tambang seperti batubara yang dipakai PLTU Batang ini,” ujar Yudha saat melakukan Kunjungan Spesifik (Kunspek) Komisi VII DPR RI ke PLTU Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu 14 Maret 2018.
Dia menjelaskan bahwa pembangkit listrik yang berbasis batubara mempunyai resiko kandungan emisi karbon yang besar dan hal ini yang harus menjadi perhatian utama yakni dari aspek lingkungan. “Banyak aspek lingkungan yang harus dilihat. Termasuk debu atau fly ash yang muncul akibat tertimbunnya batubara selama dalam posisi perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Aktivitas loading ini bisa menimbulkan debu, dibawa angin dan bisa menimbulkan pencemaran udara,” jelas Yudha.
Yudha melanjutkan, untuk Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diakibatkan oleh PLTU Batang ini dalam implementasinya dibutuhkan pengawasan salah satunya yang berbentuk Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
“Mereka tentu sudah menyampaikan AMDAL nya terlebih dahulu, karena ini proyek 2x1.000 MW. Tetapi untuk implementasi AMDAL nya sendiri perlu pengawasan, pengawasan itu bisa berbentuk dikeluarkannya UKL dan UPL. Karena UKL dan UPL itulah yang nantinya melihat bagaimana konsistensi apa yang telah disepakati dalam AMDAL tersebut,” imbuhnya.
Yudha mengajak kepada semua pihak yang terlibat untuk tetap mengawasi dari waktu ke waktu pengerjaan proyek PLTU Batang ini karena menurutnya keberadaan pembangkit listrik dan upaya melistriki masyarakat menjadi tanggungjawab negara. “Tentunya dengan kapasitas yang sangat besar ini bisa melistriki masyarakat dan industri serta pasti akan menimbulkan dorongan ekonomi baik di tingkat lokal maupun nasional,” ujar dia.
Proyek PLTU Batang ini dengan kapasitas 2x1.000 MW yang dikerjakan PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) pada Juni 2016 lalu mencapai kesepakatan pembiayaan (financial close). BPI merupakan konsorsium dari Electric Power Development Co.Ltd (J-Power), PT Adaro Power (AP), Itochu Corporation (Itochu). Proyek PLTU dengan investasi proyek US$ 4.2 miliar dan menggunakan lahan 226 hektar ini ditargetkan selesai dan mampu beroperasi untuk komersial pada 2020 mendatang. (*)