Tempo.Co

Perpu Perlindungan Anak Perlu Ditinjau
Jumat, 13 Mei 2016
Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partanoan Daulay

Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partanoan Daulay mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) perlindungan anak perlu ditinjau. Menerbitkan Perpu tentang Perlindungan Anak memang hak pemerintah dalam situasi ihwal yang genting dan darurat. “Presiden bisa saja menerbitkan Perpu Perlindungan Anak, tapi harus dengan pertimbangan yang matang,” katanya pada diskusi Dialektika di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 12 Mei 2016.

Pertimbangan dan kajian yang lebih dalam khususnya soal istilah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan pemberatan hukuman kebiri yang belum ada di undang-undang terkait sebelumnya.

“Hukuman kebiri belum ada undang-undangnya. Ini perlu ditinjau lagi. Perpu itu harus mengadopsi undang-undang yang sudah ada. Jika Perpu untuk mengganti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (PA), istilah hukuman kebiri bisa dimasukkan ke revisi Undang-Undang Perlindungan Anak,” ujarnya.

Selain Undang-Undang Perlindungan Anak, ada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang masuk Prolegnas 2015-2016 di urutan ke-167 dari 169 RUU Prolegnas. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi tumpang-tindih antara RUU dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Harus diselaraskan terlebih dahulu agar ada payung hukum untuk menindak penjahat seksual.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh meminta DPR mendorong Perpu terkait kekerasan seksual terhadap anak dengan keputusan politik. Sebab, kekerasan seksual terhadap anak sudah masuk dalam kondisi darurat.

“Perlindungan anak mendesak dan tidak bisa menunggu perdebatan-perdebatan yang tidak produktif. DPR perlu membuat keputusan politik terhadap rencana Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu, karena keputusan politik bisa berdampak langsung kepada aparat hukum paling bawah,” ujar Asrorun.

Selain itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengingatkan, pemberatan hukuman harus rasional. Menurut dia, ketimbang dikebiri, lebih baik pelaku dihukum seumur hidup.

“Menaikkan ancaman atau sanksi hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak sah-sah saja. Tapi yang harus diingat pemberatan hukuman tetap harus rasional. Sebab, pelaku tetap memiliki hak untuk hidup dan hak tidak disiksa. Sedangkan dasar dari kebiri adalah menyiksa,” kata Fickar. (*)