Tempo.Co

DPR Terima Aduan Masyarakat Abdya
Rabu, 18 April 2018
Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto terima aduan masyarakat Abdya terkait HGU PT. Cemerlang Abadi. Rabu, 18 April 2018. (Foto: Dok. DPR)

Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menerima aduan masyarakat yang diwakili Bupati dan Ketua DPRD Aceh Barat Daya (Abdya) terkait sengketa tanah antara warga lokal dengan PT. Cemerlang Abadi (CA).

Dalam aduannya, masyarakat Abdya menolak perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. CA di atas luas lahan 7.516 hektare yang merupakan tanah milik warga. Selama 30 tahun tanah tersebut ditelantarkan, tetapi pemerintah justru ingin memperpanjang HGU PT. CA yang sudah berakhir pada 27 Desember 2017 lalu.

Menanggapi aduan masyarakat itu, Agus mengatakan akan memfasilitasi masyarakat Abdya untuk beraudiensi dengan Komisi II terkait permasalahan tanah tersebut. 

“Aduan-aduan seperti ini wajib kita terima dan kita selesaikan dalam forum yang ada di DPR RI. Tentunya, semua informasi kita serap dan kita akan mencoba meminta keterangan dengan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) terlebih dahulu,” papar Agus di ruang kerjanya, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 16 April 2018.

Turut mendampingi, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Nihayatul Wafiroh mengatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti persoalan tersebut. Sebab,  ia menilai ada aturan yang sudah ditabrak PT. CA. Ia juga mengingatkan,  tanah negara harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk masyarakat.

“Apalagi ini sudah jelas, tidak ada surat perpanjangan lagi dari gubernur, bupati dan masyarakat lokal,” katanya.

Sebelumnya, Bupati Abdya Akmal Ibrahim mengatakan, sengketa antara rakyat Babahrot - Kuala Batee dengan PT. CA diawali oleh program cetak sawah baru oleh pemerintah setempat. Program cetak sawah yang merupakan program pemerintah dimulai tahun 1990 di lokasi PT. CA saat ini.  Sawah yang sudah dicetak tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat.

“Tahun 1996 lahan itu sudah jadi sawah milik warga, namun alat berat PT. CA menggali parit dalam sawah milik rakyat dan merusak cetak sawah.  Sejak saat itu konflik antara masyarakat dan PT. CA mulai memanas,” jelasnya.

Ia melanjutkan,  konflik tersebut setidaknya menewaskan 6 warga dan 54 warga dipenjara yang notabene adalah pemilik lahan.  Upaya mediasi antara masyarakat dengan perusahaan PT. CA pun tidak menemukan jalan keluar. 

Sekarang setelah 30 tahun, tanah-tanah yang disengketakan justru menjadi hutan belantara, karena hanya sebagian lahan yang dimanfaatkan, yakni sekitar 2.000 Ha dari luas lahan 7.516 Ha.  Padahal, lahan tersebut dulunya adalah sawah produktif dan perkebunan sawit yang cukup bagus. Bahkan, pada tahun 1980-an pemerintah sudah membangun patok irigasi dalam areal lahan tersebut.

“Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta dukungan DPR, agar HGU PT. CA tidak diperpanjang. Kami dan rakyat menolak, apalagi lahan tersebut sudah ditelantarkan 30 tahun,  jangan dipaksakan bentrok lagi. Kami berharap kembalikanlah sawah kami, itu saja,” ujar dia. (*)