Tempo.Co

Penggunaan Frasa Motif Politik dan Ideologi Masih Diperdebatkan
Selasa, 22 Mei 2018
Anggota DPR Arsul Sani mengatakan saat ini sedang dikaji definisi dalam RUU Terorisme, di Gedung DPR RI, Selasa, 22 Mei 2018. (Foto: Tempo/Sukarnain)

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan jika kelanjutan panitia kerja (panja) yang merupakan sebagian kecil anggota panitia khusus (pansus) revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih mengkaji frasa ‘ada motif politik,motif ideologi dan atau ancaman terhadap keamanan negara’.  Dikatakan Arsul di Gedung DPR RI, Selasa 22 Mei 2018, ada masukan dari Densus bahwa mereka bukan tidak setuju pada definisi tersebut. Hanya saja  meminta isi tersebut tidak di dalam batang tubuh atau definisi, melainkan di penjelasan.

“Ini kan beda. Kalau tidak setuju kan artinya tidak mau ada frasa itu sama sekali dalam undang-undang,” ujar Arsul. 

Pembahasan mengenai frasa inilah yang akan didiskusikan dan dimusyawarahkan kembali. Apakah frasa itu akan ditempatkan di penjelasan umum dengan narasi yang panjang ataukah dimasukkan. Memang, diakui Arsul, jika dilihat bahwa sumbangan definisi ini disampaikan melalui surat oleh Kemenkopolhukam, Panglima TNI, Kementerian Pertahanan bahkan Kapolri.

“Bahwa harus ada motif politik, motif ideologi, dalam kalimat definisi yang mereka usulkan kepada pansus. Jadi, tentu tidak tertutup kemungkinan ada fraksi yang mempertanyakan bahwa sumbangan definisi itu sudah ada dan kenapa ditolak kalau masuk dalam kajian definisi batang tubuh,” tutur Asrul.

Perbedaan pemikiran ini lumrah terjadi. Arsul memahami jika isi surat berbeda akan berbeda jika dilakukan pembahasan bersama yang melibatkan dari berbagai pihak. Sebab surat dibuat dengan penelitian dan diskusi secara internal, sementara dalam pembahasan melibatkan pemerintahan dan elemen lain seperti Densus, maka tidak dipungkuri terjadi dinamika dan ekspresi sesaat.

“Besok kita dalami lagi apakah itu ekspresi sesaat atau tidak. Kalau misalnya itu diyakini bisa menghambat atau mempersulit penegakan hukum, maka akan dibuka lagi pembahasan di mana letak mempersulit dan menghambatnya,” ujarnya.

Frasa motif politik, ideologi dan atau ancaman terhadap keamanan negara digunakan untuk membedakan atau memberikan ‘pagar’ bahwa suatu tindakan pidana itu patut dikenakan UU Terorisme atau cukup dikenakan pasal yang ada di KUHP sebagai tindak pidana umum. Dengan adanya frasa itu ada pengertian dan batasan yang jelas agar penegak hukum tidak sedikit-sedikit menggunakan UU Terorisme.

“Dari sisi ancaman hukumnya berbeda. Saya selalu kasih contoh, kalau seseorang sakit hati, di-PHK tanpa pesangon oleh sebuah restoran atau gerai internasional. Dia datang dan membakar tapi bukan jaringan teroris. Pertanyaannya adalah apakah kasus seperti itu harus dikenakan UU Terorisme? Sementara yang membakar dan menimbulkan matinya orang atau lukanya orang juga bisa dikenakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana atau Pasal 338 tentang pembunuhan biasa atau penganiayaan yang menyebabkan matinya seseorang di Pasal 359, atau di Pasal 360,” katanya. (*)