Wakil Ketua Komisi II DPR RI Nihayatul Wafiroh mengatakan saat ini masih berkembang diskusi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu mengenai batasan partai mana yang boleh mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada pilpres 2019. Dikatakan Ninik, sapaannya, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan KPU dan Bawaslu, pada prinsipnya mereka tidak ingin melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017.
Dikatakan Ninik, di dalam Pasal 222 UU tentang Pemilu itu disebutkan jika partai yang mengusung calon presiden adalah yang memiliki 20 persen suara atau 25 persen kursi di parlemen. Dengan demikian, partai yang dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden adalah mereka yang pernah ikut pemilu 2014. Ketentuan tersebut juga berarti membatasi kesempatan partai baru untuk ikut mengusung calon presiden dan wakil presiden.
“Kita fokus bahwasanya ini hanya partai 2014 yang bisa mengusung. Pengertian kosong atau nol suaranya yakni nol itu adalah partai-partai 2014 yang tidak punya suara. Tapi ini kosong berarti belum pernah melakukan pemilu. Ini yang perlu kita tegaskan,” tuturnya.
Semangat yang muncul dalam pembahasan ini adalah tidak melanggar undang-undang. Jika partai di pemilu 2014 bisa masuk sebagai partai pengusung, maka DPR diartikan telah melanggar undang-undang yang dibuat sendiri.
“Berarti preseden buruk buat DPR,” ucapnya.
Saat ini masih dalam pembahasan apa saja yang dapat dilakukan partai pengusung maupun pendukung, Selama ini pemahamannya, partai pengusung bisa memasukkan logo, mendukung pembiayaan atau financial.
“Diskusi masih berkembang soal itu, nanti kita lihat. Kita belum ketok palu soal itu,” ujarnya. (*)