Tempo.Co

Legal Drafter di DPR Masih Lemah
Rabu, 01 Agustus 2018
Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema Kinerja Legislasi DPR RI, di Gedung DPR RI Nusantara III, Kamis, 2 Agustus 2018. Foto (Tempo/Sukarnain).

Kompetensi legal drafter atau tim penyusun undang-undang yang ada di DPR dinilai masih lemah. Wakil Ketua DPR RI Utut Adianto berharap ada tim legal drafter yang kuat untuk mengurusi setiap rumusan pasal-pasal dalam rancangan undang-undang yang dibahas DPR bersama pemerintah.

“Dalam penyusunan perundang-undangan memang bukan soal kehadiran, tetapi ketika bicara prinsip umum, general, kita akui tidak memiliki legal drafter yang expert di sini. Kita lemah, tidak memiliki drafter yang kuat,” ujarnya ketika menjadi narasumber dalam diskusi mingguan Dialektika Demokrasi bertema ‘Kinerja Legislasi’ di Gedung DPR, Kamis, 2 Agustus 2018.

Selain Utut, Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali, Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing dan pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie juga menyampaikan pemikirannya.

Dikatakan Anton jika usulan legal drafter akan disikapi dengan melakukan simulasi. Namun diakuinya jika penambahan jumlah pegawai khususnya legal drafter akan berkaitan dengan alokasi anggaran. Selain itu, kondisi fisik gedung DPR juga sudah tidak layak jika harus menambah tenaga ahli baru.

 “Terkait dengan penambahan staf, pegawai yang sudah ada saja tidak muat di ruangan,” katanya seraya mengatakan jika hingga saat ini usulan DPR untuk menambah gedung baru belum disetujui.

Mengenai legal drafter di DPR, Jimly sependapat perlu ada penguatan staf. Legal drafter bisa berasal dari aparatur sipil negara atau PNS. Saat ini, PNS sudah memiliki jabatan fungsional dan sudah memiliki kompetensi menyiapkan rancangan hukum. Selain itu, perlu juga memperkuat kompetensi tenaga ahli.

Sebab, Anggota DPR yangsudah menempati posisi tinggi sebagai  pejabat publik seharusnya tidak lagi mengurusi pekerjaan staf seperti menyiapkan bahan-bahan diskusi untuk dibahas bersama pemerintah atau melakukan kegiatan lain yang seharusnya dapat dilakukan oleh pegawainya.

“Penguatan staf diperlukan agar Anggota DPR tidak lagi melakukan pekerjaan seorang staf seperti studi banding,” ujar Jimly.

Guru Besar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini juga mengusulkan agar tugas pokok dan fungsi DPR itu berjalan baik, komisi DPR cukup dibagi menjadi tiga sesuai kewenangannya legislasi (UU), komisi anggaran (budget), dan pengawasan. Saat ini terdapat 11 Komisi DPR.

Sementara itu Zainuddin Amali mendukung pembahasan khusus legislasi tersebut agar DPR memiliki konsentrasi penuh menyelesaikan pembahasan UU. Pembahasannya pun akan lebih baik dan selalu dihadiri oleh pemerintah dan DPD RI. “Kami setuju di DPR ada komisi khusus yang membahas legislasi. Sehingga kita tidak terjebak pada kuantitas,” ujarnya. (*)