Tingginya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi perhatian Komisi III DPR RI. Apalagi sejak mengemuka kasus penyiksaan tenaga kerja Nirmala Bonar oleh majikannya di Malaysia. Situasi ini menjadi sorotan karena pada saat bersamaan Komisi III DPR RI bersama pemerintah sedang berupaya merampungkan RUU Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP).
“Masalah TPPO itu menjadi salah satu bagian yang akan diatur dalam RUU KUHP tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI ke Kupang, NTT, Kamis, 2 Agustus 2018.
Ada hal yang dikritisi dalam kunjungan kerja Komisi III DPR RI kali ini yaitu mengenai penggunaan pasal TPPO oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian. Menurutnya belum ada persamaan pikiran antara kepolisian dan kejaksaan dalam penggunaan pasal di dalamnya. Jika sudah ada persamaan persepsi, Erma yakin, para pelaku TPPO bisa dihukum secara maksimal bukan lagi dengan ancaman minimal.
“Masih ada miss antara polisi dan jaksa dalam penggunaan pasal dalam kasus TPPO. Oleh karena itu kami sarankan agar ada koordinasi yang baik antar penyidik dari kepolisian dengan jaksa peneliti dari kejaksaan. Sehingga ketika kasus ini sudah masuk ke pengadilan, maka menjadi kasus yang kuat," ucap Erma.
Selain masalah tenaga kerja, Komisi III menyoroti kinerja Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) NTT yang sulit menjalankan tugasnya secara maksimal karena wilayah ini terdiri dari pulau dan laut. Masalah dalam penanganan peredaran narkoba juga dikarenakan belum ada kantor BNN.
Selain itu, upaya menghalau peredaran narkoba juga dipersulit dengan terbatasnya fasilitas pengamanan dari kepolisian. Dari 22 kabupaten dan kota di NTT, hanya ada 16 Polres.
“Berarti masih ada kekurangan lima Polres. Inilah yang harus menjadi perhatian ekstra buat kita,” ujarnya. (*)