INFO DPR - Pemerintah diminta jujur membaca keadaan masyarakat dan mengubah indikator kemiskinan. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan indikator yang digunakan dalam mengukur kondisi kemiskinan masyarakat Indonesia tidak tepat.
Menurutnya, membaca kemiskinan Indonesia harus melalui indeks kerawanan dan indeks kedalaman (deep index). Indeks kerawanan adalah mereka yang kemiskinannya mudah naik dan gampang turun yang jumlahnya sekitar 100 juta orang. Kedua, deep index adalah masyarakat Indonesia yang sangat miskin bahkan sulit keluar dari kesulitan ekonomi hingga ke anak cucu.
“Kita harus berani mendobrak dengan indikator baru supaya jujur membaca keadaan masyarakat kita,” katanya dalam peluncurkan bukuya Mengapa Indonesia Belum Sejahtera di Gedung DPR, Selasa, 7 Agustus 2018.
Judul buku ini ‘Mengapa Indonesia Belum Sejahtera’ bisa dilihat sebagai pertanyaan atau pernyataan. Dalam bentuk pertanyaan, memang diakui Fahri jika dia ingin menggugat banyak indikator lama.
“Tapi kalau dalam pertanyaan, yah, memang tadi fakta-faktanya menunjukkan cara kita melihat kemiskinan dan kesejahteraan itu, ngawur,” tuturnya.
Penghitungan pertumbuhan ekonomi Gross Domestic Product (GDP) menurut Fahri itu bohong. Karena di dalamnya yang dihitung adalah total dari barang dan jasa tanpa menghitung kemanfaatannya, tanpa menghitung efeknya, tanpa menghitung apakan itu menghilangkan jarak dan ketimpangan. Atau seperti kasus yang kerap terjadi misalnya datangnya orang asing datang ke desa yang kemudian membongkar tanah atas nama investasi, membongkar batu bara, mengambil mineral, menebang pohonnya, merusak sungai dan laut.
“Dalam GDP itu sebagai progress, dianggap growth atau elemen of growth. Tetapi faktanya ini merusak. Kita harus punya statistik yang bisa memantau pengrusakan. Pengrusakan bukan sesuatu harus diapresiasi,” ucap dia.
Dia juga menilai jika indikator kemiskinan konsumsi karbohidrat sebagai alasan untuk menghitung kemiskinan, dianggap kejam dan tega. Indikator rakyat Indonesia hanya dihitung dari konsumsi kalori 2100 kalori per kapita per hari. Bahkan, kadang di beberapa daerah dihitung dengan rupiah sekitar 13000. Sekitar di bawah 1 dollar.
“Itu hanya kalori, bagaimana dengan yang lain? sementara kebutuhan pokok manusia itu berkembang,” ucap dia.
Dia berharap, buku pertama dari kumpulan bukunya ini dapat membuka mata para peneliti, ekonom, untuk melihat secara lebih real. Dia berharap, ketika ada pemimpin baru, yang pertama kali diumumkan adalah kemiskinan di Indonesia berada di atas 100 juta.
“Lebih baik kita akui dulu ada kemiskinan yang meluas daripada kita terus menerus bilang rakyat kita keluar dari garis kemiskinan tapi bohong," ucapnya.
Selama menjabat sebagai Anggota DPR Fahri telah menulis empat buku. Buku sebelumnya yakni "Negara, Pasar dan Rakyat", "Demokrasi, Transisi Korupsi", "Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat" dan "Kemana Ujung Century" yang ditulisnya saat aktif di Pansus Bank Century.
Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menilai buku ini pemikiran dan kegelisahan dan juga kritik konstruktif yang disampaikan secara terbuka. Menurutnya buku ini bisa dijadikan referensi oleh siapa saja, baik mahasiswa, akademisi, politisi dan pengambil kebijakan di negeri ini.
“Bahwa ini bagian dari salah satu masukan penting yang mungkin bisa dijadikan landasan untuk melakukan perubahan dan perbaikan,” tuturnya.
Sementara itu, Ekonom Fuad Bawazier yang ikut sebagai narasumber mengatakan jika indikator yang selama ini digunakan Indonesia mengikuti negara-negara yang sudah maju. Tidak tepat jika digunakan di Indonesia.
“Mudah-mudahan pemerintah berani menggunakan indikator baru yang ada di buku Fahri Hamzah,” ujarnya.
Selain Saleh dan Fuad, sejumlah narasumber memberikan pandangannya yakni Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong Rokhmin Dahuri, dan Tenaga Ahli Koskesra DPR Gianto.
Secara simbolis, dalam kesempatan itu, buku ini diserahkan Fahri kepada Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. (*)