Tempo.Co

Cegah Isu SARA dalam Kontestasi Pemilu
Selasa, 14 Agustus 2018
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengajak seluruh elemen masyarakat dan para elite politik meninggalkan isu SARA dalam kontestasi pemilu 2019, Selasa, 14 Agustus 2018. Foto Dok. DPR

INFO DPR -  Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengajak seluruh elemen masyarakat dan para elite politik meninggalkan penggunaan isu SARA dalam kontestasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019. Politisasi isu SARA menjadi isu paling panas dan terus menerus diperbincangkan di ruang publik.

Ini harus dicegah agar isu SARA tidak menjadi bom waktu yang dapat memporak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

"Jika kita lihat kehidupan di dunia maya, baik itu facebook, twitter, instagram, youtube, line, whatsapp group, maupun berbagai platform lainnya, terjadi perang politik secara terbuka menggunakan isu SARA sebagai senjatanya. Masyarakat diadu domba dan menjadi korban. Elite politik bukannya meredam malah tak jarang ikut 'menyiram bensin' yang memperbesar api kebencian,” kata Bamsoet dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin, 13 Agustus 2018.

Acara itu juga dihadiri Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua KPK Agus Rahardjo, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua PBNU Marsudi Syuhud dan Deputi IV Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo.

Dia tidak menyangka hanya karena berbeda haluan politik, banyak pihak lantas mengorbankan rasa persaudaraan. Tokoh agama dihujat, negarawan dianggap musuh, presiden maupun lembaga tinggi negara sebagai simbol kedaulatan dilecehkan. Kritik berubah menjadi pembunuhan karakter yang kejam. Semua orang cenderung merasa paling benar. Akibatnya, kebhinekaan dalam bahaya.

"Kehidupan politik menjadi porak-poranda. Dari kaum terdidik, pejabat publik, hingga rakyat mulai terprovokasi arus propaganda politik dan berita hoax yang menyesatkan,” kata dia.  

Menurutnya, membaca ulang Indonesia adalah melawan arus politik identitas yang kini semakin merebak. Narasi kebangsaan yang bersifat toleran, terbuka dan menghargai perbedaan harus terus tumbuh dan berkembang. Hal ini secara filosofis tersirat jelas dari makna Bhineka Tunggal Ika dan direkatkan oleh Pancasila sebagai penopang rumah besar Indonesia.

"Membaca Indonesia hari ini pada dasarnya adalah bagaimana menyebarluaskan nilai-nilai Pancasila ke ruang publik secara masif dengan memanfaatkan ruang maya dan media-media kreatif. Pancasila sebagai perekat harus terus kita rawat dan jaga,” katanya.

Tujuannya untuk membendung gelombang politik identitas yang menganggu rasa kebangsaan. Dia optimis jika setiap masyarakat Indonesia merindukan kedamaian. 

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mempunyai akar sosio historis yang kuat. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 misalnya, menjadi titik kepeloporan pemuda dalam revolusi yang menyatakan bertumpah darah satu, berbangsa satu, menjunjung tinggi bahasa persatuan, Indonesia.

Usai Proklamasi 17 Agustus 1945, pluralisme semakin menjadi kekuatan utama mengisi kemerdekaan. Namun sayangnya, pada era milenium Indonesia meninggalkan pluralism.

“Kita seperti lupa akar sejarah bangsa yang majemuk. Padahal, kemajemukan inilah yang sejak dulu menjadi kekuatan utama kita, baik dalam melawan penjajah maupun dalam mengisi kemerdekaan," jelas Bamsoet.  

Dia berharap semua elemen tetap menjaga bangsa dan negara. Saat ini, masih ada  tugas mulia memberikan teladan dan mewariskan Indonesia yang berkeadaban kepada para anak dan cucu. (*)