Tempo.Co

Penggunaan Pengeras Suara di Masjid Harus Mengedepankan Tenggang Rasa
Selasa, 04 September 2018
Rapat Komisi VIII DPR RI dengan Kemeterian agama, Nusdantara II, di Gedung DPR RI, Selasa, 4 September 2018. Foto (Tempo/Sukarnain)

INFO DPR - Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher berharap Kementerian Agama mengerahkan aparatnya di tingkat kabupaten/kota dan tokoh-tokoh masyarakat termasuk MUI melakukan sosialisasi secara persuasif tentang aturan penggunaan pengeras suara di masjid, musala maupun di langgar. Aturan tentang pengeras suara telah tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Dan, menurut Ali, surat edaran itu masih releven digunakan saat ini.

“Surat edaran ini sebenarnya bukan barang baru. Sudah ada edarannya sejak tahun 1978. Namun sekarang bagaimana menyosialisasikannya terutama dalam pengaturan waktu. Kapan sebaiknya pengeras suara digunakan supaya ibadah berjalan dengan bagus dan masyarakat bisa terayomi,” ucap Ali di Gedung DPR usai memimpin Rapat Kerja Komisi VIII dengan Menteri Agama Lukman Hakim dan jajarannya, Senin, 4 September 2018.

Ali mengakui jika saat ini surat edaran itu belum disosialisasikan secara maksimal. Padahal, surat edaran yang sifatnya nasional ini seharusnya disampaikan secara luas kepada masyarakat.

“Pengeras suara memang perlu diatur, perlu disesuaikan dengan keadaan lingkungan masing-masing. Memang saat ini, seperti dikatakan Pak Menteri Agama, situasional, bervariasi di mana setiap daerah berbeda-beda,” ucap dia.

Sementara itu menurut Lukman, tidak benar jika ada yang mengatakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama melarang atau mengatur-atur azan. Menurut Lukman, yang diatur adalah pengeras suara melalui Instruksi Dirjen Bimas Islam yang sudah dikeluarkan 40 tahun silam atau pada 1978.

Surat edaran ini adalah respon atas tuntutan masyarakat agar Kementerian Agama membuat aturan tentang pengeras suara. Karena itu lalu pihaknya melakukan kajian ke dalam.

"Dan kami menemukan pernah ada yang dibuat Dirjen itu sebagai panduan bagaimana pengeras suara digunakan dengan penuh kearifan,” ujar Lukman.

Lukman berharap isi surat edaran ini dicermati dengan benar dan secara utuh. Sangat penting jika pengeras suara ini bijak digunakan di daerah yang masyarakatnya sudah heterogen.

Dia berharap dalam penggunaan pengeras suara di rumah ibadah semua pihak mengedepankan tenggang rasa pada pihak lain. Tenggang rasa ini tidak hanya pada pengeola rumah ibadah tetapi masyarakat secara luas.  

“Marilah melihat persoalan ini dengan bijak. Kalau ada perselisihan dan perbedaan sebaiknya diselesaikan secara musyawarah. Jangan dibawa ke hukum karena hukum itu cara pandanganya hitam putih,” ujar Lukman

Selain itu Lukman berharap Pusat Kerukunan Umat Beragama (FKUB) lebih pro aktif melihat persoalan ini. Dan berharap masyarakat yang terganggu pada sebuah ibadah, sebaiknya menyampaikan keluhannya kepada FKUB agar dimusyawarahkan dengan tokoh agama dan menyelesaikan persoalan ini.

“Tentu tidak pada tempatnya jika persoalan agama itu diselesaikan dengan hukum. Persoalan agama harus disikapi dengan penuh kearifan, kebijakan, keluwesan, musyawarah dengan kekeluargaan sesuai karakter bangsa kita,” kata Lukman. (*)