INFO DPR - Anggota Komisi XI DPR RI sepakat jika solusi untuk mengatasi melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing terutama dollar adalah dengan meningkatkan ekpor dan menurunkan jumlah impor. Hal ini mengemuka dalam diskusi dialektika demokrasi ‘Pelemahan rupiah terhadap dollar AS’ di Gedung DPR, Kamis, 6 September 2018. Narasumber didatangkan dari Komisi XI DPR RI yaitu Eva Kusuma Sundari (Fraksi PDIP), Heri Gunawan (Fraksi Partai Gerindra), Mukhamad Misbakhun (Fraksi Partai Golkar), dan Refrizal (Fraksi PKS).
“Banyak yang perlu kita sisir. Kita tidak tertutup dengan impor asalkan memperbanyak ekspor. Kita kuatkan fundamental ekonomi seperti di Thailand, itu cara kita jika ingin menyelamatkan nilai tukar kita,” ujar Refrizal.
Menurut Misbakhun pelemahan rupiah itu disebabkan dua hal yaitu faktor eksternal (global), dan internal. Untuk internal karena transaksi berjalan terkait impor BBM itu sangat tinggi, dan inilah yang menyedot 26 miliar dollar AS per bulan.
“Perharinya kita impor 3 juta kilo liter BBM,” jelas Misbakhun.
Karena tingkat kepercayaan investor dan pengusaha sangat tinggi, dan sentimen pasar juga positif, maka pelemahan rupiah tersebut masih lebih baik dibanding dengan Turki, Argentina, India, dan negara-negara Eropa yang lain. Sehingga perekonomian Indonesia masih tumbuh dengan baik sekitar 5,2 persen.
Selain itu, UU Devisa Indonesia masih mengikuti rezim devisa bebas. “UU devisa ini punya peran besar pada fluktuasi rupiah dan valuta asing termasuk dollar AS sehingga bisa keluar-masuk seenaknya. Makanya secara struktur harus diperbaiki,” ujar Misbakhun.
Jika dibandingkan dengan Thailand dan Vietnam yang lebih baik, Misbakhun menilai hal itu karena ekspornya surplus. “Untuk itu, pemerintah terus melakukan perbaikan-perbaikan termasuk mengurangi impor bagi infrastruktur BBM dan lain-lain,” ujar dia.
Sementara itu menurut Eva saat ini perekonomian global sudah dilakukan secara terbuka. Harus dicermati jika dalam ekonomi ada siklus 5 tahunan 10 tahunan.
Jika dihadapkan pada keberhasilan Indonesia di masa silam, disebutkan jika bangsa ini adalah penghasil kedelai ke-4 di dunia dan produsen karet nomor dua sedunia. Namun sayang, karena cooperative advantage, Indonesia ‘ditipu’ oleh rekomendasi IMF.
“Indonesia ‘ditipu’ oleh rekomendasi IMf dengan dorongan jika membeli lebih murah mengapa harus produksi. Sekarang, kita negara agraris terbesar namun mengimpor paling besar karena kita dibiarkan menjadi konsumen,” tutur Eva.
Menurut Eva, tantangan era pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla, yang harus dilakukan adalah menggenjot pembangunan infrastruktur. Dan Indonesia harus digiring menjadi negara produsen.
Di sisi lain, Heri mengatakan jika fundamental ekonomi Indonesia belum kuat. Dan jika bicara solusi, sebaiknya masyarakat itu bersandar pada apa yang dipercaya. Selain itu, di dalam negeri Heri berharap pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan harus mengedepankan skala prioritas. Dibandingkan pembangunan jalan tol, sebaiknya pemerintah mengutamakan pembangunan jalan umum yang lebih dibutuhkan bagi rakyat kecil sebagai akses penghubung sosial ekonomi. (*)