INFO DPR - Anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning mengatakan perlu ada penanganan khusus dalam menyelesaikan persoalan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebab, dalam rapat kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Dirut BPJS Fachmi Idris dan jajarannya, di Gedung DPR, Senin, 17 September 2018 disampaikan jika BPJS mengalami defisit hingga Rp 16,5 triliun.
Menanggapi itu, Ning – sapaannya - meminta jika terkait kinerja dan keuangan BPJS ini dilakukan Sidang Kabinet Khusus karena ini urusan BPJS ini menyangkut persoalan rakyat. Sebab, di daerah, khususnya di konstituennya, persoalan BPJS seakan tidak pernah selesai. Padahal, dalam era pemerintahan Presiden Joko Widodo, BPJS adalah program unggulan.
Ning menceritakan bagaimana pasien-pasien kerap mengeluh padanyanya mulai dari peraturan BPJS yang harus melampirkan surat rujukan dari puskesmas setiap kali cuci darah ke rumah sakit, masalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) Rp 23 ribu, biaya operasi katarak, dan lain-lain. Persoalan-persoalan itu sederhana namun membuat rakyat menjerit.
“Kembali saya ingatkan, bahwa historis BPJS ini lahir untuk memotong birokrasi kesehatan supaya tidak berbelit-belit. Kita ingin jaminan sosial yang tidak berbelit-belit,” ujarnya.
Anggota Komisi IX Irgan Chairul Mahfiz mengatakan jika defisit di BPJS sudah liar dan setiap tahun terjadi bahkan naik terus. Pemerintah harus ambil tindakan untuk menyelesaikan ini semua.
“Ini tanggungjawab pemerintah. Saya tidak tahu, apakah ini persoalan manajemen, ketidakmampuan direksi atau sistemik tapi hulunya ada di regulasi, di ketidaktepatan penyuasaian tariff. Ini tidak bisa dibiarkan, ini tanggung renteng, semua harus tanggungajawab. Semua pihak, kondisi ini bleeding, defisit,” kata Irgan.
Sebelumnya, Fachmi menyebutkan jika defisit arus kas mencapai hingga Rp 16,5 triliun. Menurutnya, defisit yang terjadi ini bukan tiba-tiba namun kondisi defisit ini direncanakan karena dirinya bersama Dewan Jaminan Sosial setiap tahun menyiapkan rancangan kerja anggaran tahunan yang dihitung, yaitu menyangkut biaya operasional, pendapatan dan pengeluaran. Sehingga sejak awal tahun sudah bisa diperkirakan jika BPJS akan mengalami defisit.
“Di awal tahun 2018 akan ada ada defisit Rp 12,1 triliun dan defisit yang ‘digendong’ atau carry over pada 2017 Rp 4,4 triliun, sehingga defisit arus kas sebesar Rp 16,5 triliun,” ujarnya.
Sementara itu, Mardiasmo mengatakan jika defisit yang disampaikan BPJS adalah Rp 16, 58 triliun sesuai asersi. Itu belum termasuk bauran kebijakan dan sebesar Rp 5,59 triliun hasil review atau koreksi BPKP. Sehingga diketahui jika hasil temuan terbaru dari BPKP BPJS mengalami defisit Rp 10,989 triliun.
Menurut Nila, Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang menjadi produk BPJS adalah program nasional yang perlu dijaga kesinambungannnya. Dia mengakui jika kondisi keuangan mengalami defisit karena iuran JKN yang masih kecil. Dan ada upaya perumusan bauran disebut bahwa mengendalikan defisit dalam rancangan Revisi Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Bauran kebijakan dalam pengendalian defisit program JKN dilakukan diantaranya yakni cakupan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar 92,4 juta jiwa, iuran PBI Rp 23 ribu telah ditindaklanjuti dengan pembayaran di muka. (*)