Tempo.Co

Bahas UU POM, Komisi IX Undang Pakar Obat-obatan
Senin, 24 September 2018
Rapat dengar pendapat tentang Waspom dengan pakar-pakar. Nusantara I, di Gedung DPR RI, Senin, 24 September 2018. Foto (Tempo/Sukarnain)

INFO DPR - Komisi IX DPR RI menggelar rapat dengar pendapat, mendengarkan masukan dari sejumlah pakar terkait rancangan undang-undang bagi badan pengawasan obat dan makanan (BPOM), di Gedung DPR, Senin, 24 September 2018. Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf, badan legislative menanyakan beberapa hal kepada para pakar yang diundang datang yakni Farmakolog Iwan Dwiprahasto dan ahli Fitofarmaka Suwijiyo Pramono.

Dede mengemukakan beberapa poin penting yang perlu dirumuskan dalam UU POM. Seperti apa saja yang menjadi kewenangan Badan POM terutama menghadapi tantangan begitu mudahnya masyarakat mendapatkan obat secara bebas di online.

“Kita bebas bisa membeli obat secara online. Apa perlu Badan POM punya kewenangan, mempunyai cyber squad. Membatasi online ini kan tidak mudah,” ujarnya.

Selain itu, Dede juga berharap para akademisi di bidang obatan-obatan ini dapat memberikan masukan terkait kemudahan mendapatkan obat-obatan di warung-warung atau di apotik rakyat.

Menanggapi itu, Iwan mengatakan jika selama ini dia memang terlibat dalam proses penyusunan obat-obat nasional untuk BPJS, obat-obatan di Badan POM. Menurut Iwan, di negara manapun pasti ada domain yang menjadi regulator menguasai dan ada domain yang memudahkan masyarakat mengakses obat-obatan.

“Dua hal ini harus ada bersamaan. Obat bebas harus ada karena saya tidak bisa membayangkan masyarakat harus antri ke puskesmas, harus antri ke rumah sakit untuk mendapatkan obat yang hanya untuk nyeri kepala yang dia minum satu atau dua tablet, sudah sembuh,” kata Iwan.

Menurut Iwan, self medication ini harus didorong, namun pada saat bersamaan juga harus ada edukasi di masyarakat. Apalagi sebetulnya setiap obat bebas sudah disebutkan tidak boleh tiga atau lebih lima hari dikonsumsi. 

Kemudian menurut Iwan yang sepakat jika ada UU yang mengatur tentang BPOM. Dia berharap undang-undang itu kelak dapat meregulasi agar obat bebas itu tidak 'kemasukan' obat palsu. Hukum seharusnya mencegah obat palsu ‘nimbrung’ dalam kemudahan akses masyarakat untuk self medication.

Kendati demikian dia mendukung filosofi bahwa obat digunakan untuk pencegahan, pengendalian, tetapi juga di publik obat juga untuk promosi dan edukasi.

Dia menyontohkan bagaimana Indonesia disebutkan sebagai negara penghasil penyakit diabetes terbesar karena tinggi konsumsi karbohidrat dan menggunakan banyak gula. Contoh penyakit diabetes ini tentu berujung pada penyakit lain seperti kecacatan, sakit jantung dan gagal ginjal, stroke karena kadar gula tidak terkendali. Padahal, obat yang dikonsumsi ada, tetapi masyarakat tidak mempunyai edukasi bagaimana mengelola obat-obatan itu, yakni melakukan tambahan diet dan melakukan excerise.  (*)