Tempo.Co

Mendesak, Pembentukan Manajemen dan Pengaturan Supporter
Kamis, 27 September 2018
Diskusi Dialektika Demokras bertema: 'Duka Sepakbola Salah Siapa?' Nusantara III, di Gedung DPR RI, Kamis, 27 September 2018. Foto (Tempo/Sukarnain)

INFO DPR - Persoalan kekerasan dan rivalitas yang kerap terjadi antar supporter sepak bola harus diselesaikan dengan serius. Sehingga ke depan, tidak ada lagi supporter yang harus terluka bahkan meninggal dunia.   

Dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk 'Duka Sepak bola Salah Siapa?, di Gedung DPR, Kamis, 27 September 2018, para narasumber sepakat jika ada manajemen dan program untuk mengatur para supporter. Ketiga narasumber yakni Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Anggota Komisi V Nurhasan Saidi dan Pengamat Sepak Bola Agustinus Edy Permana memiliki pandangan sama jika tidak ada yang disalahkan dalam persoalan ini namun seluruh stakeholder termasuk pemerintah harus ikut memikirkan program yang tepat untuk mencegah tragedi di dunia olahraga ini agar tidak terulang kembali.

“Tujuan kita berolahraga untuk meningkatkan kebahagiaan bukan untuk terus menerus mempertahankan permusuhan. Kondisi ini berbalik dari tujuan utama. Masyarakat punya hak mendapatkan hiburan dan hak itu seharusnya dilindungi pemerintah,” ujar Hetifah.

Sementara itu, Hasan mengatakan jika pada usia belia semangat fanatisme pada klub olahraga tertentu tidak bisa dicegah. Hanya saja, diperlukan landasan bermoral dan pendidikan karakter bangsa, yang saat ini bisa didapatkan anak-anak dan pelajar melalui Kurikulum K-13 dalam pelajaran pendidikan agama dan PKn.  

“Selama ini pendidikan karakter masih ‘lipstik’, masih menjadi slogan,” ujar Hasan.

Dia mengusulkan agar orangtua memberi perhatian terhadap pendidikan karakter anak dan mendukung semangat anak yang mengidolakan klub sepak bola dengan ikut serta menonton pertandingan secara langsung.

“Ketika anak menonton bola, sekali-sekali orangtua harus mendampingi, selama ini anak-anak dilepas begitu saja,” katanya.

Hasan juga menyarankan agar ada pengelolaan supporter sebab sepak bola sudah menjadi industri besar selain olahraga sportivitas. Itu juga yang mendorongnya agar setiap kampung di Indonesia mempunyai lapangan sepak bola yang komprehensif.

Sementara itu, Agustinus mengatakan jika supporter adalah motivator bagi para pemain. Sayangnya, di luar lapangan, muncul rivalitas yang tidak sehat antar supporter.  

Kendati telah dilakukan perjanjian kontrak damai antar supporter sepak bola,  pesan damai, Jamboree Supporter sudah pernah digelar di Cisauria Bogor  2006 dan pada 2007 di Sanur Bali, persaingan di antara supporter masih terjadi.  

Bahkan kejadian yang menimpa Haringga Sirla di GOR Bandung Lautan Api, hari Minggu lalu sudah dicegah. Panitia pelaksana hanya menjual tiket bagi pendukung Persib Bandung untuk mencegah bentrok antar supporter.

“Memang terulang berkali-kali, kalau ada pertandingan Persija dengan Persib, diupayakan agar supporter tidak jadi satu. Dalam hal ini PSSI ini kecolongan karena mereka nekad datang. Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa,” ujar Agustinus.

Dia mengakui jika di grassroot, para supporter fanatik yang mudah termakan isu. Padahal seharusnya mereka perlu diberikan pemahaman bahwa pertandingan itu hanya terjadi di lapangan hijau, antara pemain 11 lawan 11. (*)