Tempo.Co

Telepon Genggam dari Pasar Gelap Dipastikan Tidak Akan Beredar Lagi
Selasa, 06 November 2018
diskusi Dialektika Demokrasi 'Negara Rugi Triliunan Rupiah, Revisi KUHP Sentuh Penyelundupan Gadget Ilegal? Nusantara III, di Gedung DPR RI, Selasa, 6 November 2018. Foto Tempo/Sukarnain

INFO DPR – Telepon genggam dari pasar gelap dipastikan tidak akan beredar lagi di Indonesia. Selama ini, ponsel illegal atau black market (BM) hingga kini masih menjadi persoalan, apalagi pemerintah telah memberlakukan aturan 30 persen Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) kepada vendor yang beroperasi di Indonesia. Maraknya peredaran selular di dunia pasar hitam ini tidak hanya merugikan masyarakat karena tidak bergaransi resmi namun juga karena negara tidak menerima pendapatan dari pajak.

Hal ini dibahas dalam diskusi dialektika demokrasi dengan tema 'Negara Rugi Triliunan Rupiah, Revisi KUHP Sentuh Penyelundupan Gadget Ilegal?' di Gedung DPR, Selasa, 6 November 2018. Salah satu narasumber Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi mengatakan jika peredaran telepon genggam yang illegal tidak diatur secara spesifik dalam ketentuan perundang-undangan termasuk dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, perbuatan penyelundupannya diatur dalam pasal pemalsuan dalam ketentuan kepabeanan. Menurutnya persoalan peredaran telepon selular tidak perlu diatur secara spesifik dalam perundang-undangan. Karena UU Kepabeanan sudah sangat baik mengatur penggelapan.

“Persoalan peredaran telepon genggam di pasar gelap ini bukan ke regulasi namun lebih ke persoalan penegakan hukum,” tutur Taufiqulhadi.  

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan jika sudah ada mekanisme bagi peredaran telepon genggam di Indonesia, namun yang penting adalah ekses konten impor. Sebab, barang gelap selain telepon genggam ada yang patut diwaspadai yakni tekstil. Perhatian dan pengawasan ekstra harus dilakukan dengan barang-barang dari Singapura, Hongkong, Guangzou yang rawan melakukan penyelundupan telepon genggam.  

Menurut Eva, harus dicari cara cerdas agar masalah struktural ini bisa diselesaikan tanpa harus ada ekses ongkos. Jangan sampai masalah mengatasi pasar gelap didefinisikan  bahwa perlu mobil patroli dan tambahan biaya operasional lain.

“Ada cara murah tapi telak yaitu control IMEI. Saya pikir industri akan maju kalau mendapat insentif, kebijakan pemerintah anti terhadap BM ini menggembirakan bagi industri gadget kalau ada 30 persen lokal konten,” kata Eva.

Rencana yang diapresiasi Eva itu dikemukakan Mochamad Hadiyana selaku Direktur Standardisasi Perangkat dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Hadiyana mengulang pernyataan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang menyebutkan jika total kerugian negara akibat peredaran ponsel BM mencapai Rp 1 triliun per tahun. Oleh karena itu Kominfo akan segera menyiapkan pengaturan tentang sertifikasi IMEI terhadap semua telepon genggam yang resmi. Sehingga semua telepon yang tidak terdaftar secara resmi tidak dapat lagi menggunakan perangkatnya sebagai alat komunikasi di Indonesia.

“Kami akan menyelesaikan tahun ini, kalau lewat tahun gagal berarti mempengaruhi penilaian terhadap kami. Kami usahakan akhir tahun, 31 Desember tahun paling lambat selesai,” ujar Hadiyana.  

Menurut Ketua Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) Ali Soebroto, upaya pemerintah menjaga ‘pintu-pintu’ resmi barang impor sangat baik. Namun yang perlu diberi pengawasan extra adalah barang-barang selundupan yang tidak masuk lewat pintu bea cukai. Pihak Asosiasi yang tergabung dalam AIPTI mengusulkan jika pemerintah menggunakan neraca jumlah produksi impor dan berapa penjualan termasuk pengendalian IMEI.

“Kalau semua telepon genggam yang diproduksi didaftarkan ke Kementerian Perindustrian dan ke operator-operator untuk mengatur identifikasi, dipastikan peredaran telepon genggam resmi akan terjaga dengan baik,” ujar Ali. (*)