Tempo.Co

RUU Permusikan Ditarik dari Baleg DPR RI
Jumat, 08 Maret 2019
Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah resmi menarik usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

INFO DPR - Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah menarik usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.  Dalam keterangannya secara tertulis di Jakarta, Kamis, 7 Maret 2019 Anang mengatakan, keputusan menarik usulan RUU Permusikan sebagai tindaklanjut dari masukan dan tanggapan dari seluruh stakeholder ekosistem musik di tanah air.  RUU Permusikan telah menimbulkan polemik.  Dari aspirasi yang masuk, kata Anang, ada yang setuju dengan revisi draf materi RUU Permusikan namun pula yang menolak seluruh materi RUU tersebut.

“Saya sebagai wakil rakyat yang berasal dari ekosistem musik, wajib hukumnya menindaklanjuti aspirasi dari stakeholder," kata Anang.

Dia berharap situasi di ekosistem musik kembali kondusif. Persoalan yang terjadi di sektor musik di Indonesia sebaiknya dirembuk dengan baik melalui musyawarah besar (mubes) ekosistem musik usai Pemilu 2019.

Tantangan di industri musik di Indonesia dari waktu ke waktu semakin kompleks. Pikiran dan pandangan dari ekosistem musik cukup penting untuk merumuskan peta jalan atas tantangan-tantangan yang muncul.

“Seperti konstruksi hukum di sektor musik kita masih 2.0, padahal saat ini eranya sudah 4.0. Di Amerika, pada 11 Oktober 2018 lalu baru disahkan Music Modernization Act (MMA), regulasi terkait dengan hak cipta untuk rekaman audio melalui teknologi berupa streaming digital. Bagaimana dengan kita di Indonesia?,” ujar Anang. 

Selain itu persoalan pajak di sektor musik yang saat ini banyak memanfaatkan medium digital seperti Youtube dan Facebook. Kemudian masalah urgensi keberadaan data besar (big data) untuk memuat seluruh direktori musik di Indonesia. Keberadaan Undang-Undang Serah Simpan Karya Rekam Karya Cetak (UU SSKRKC) yang mengamanatkan seluruh karya rekam diserahkan ke perpustakaan nasional, menurut Anang masih menimbulkan pertanyaan.  Hal yang juga perlu pemikiran bersama yakni berkaitan dengan kurikulum pendidikan musik apakah telah selaras dengan kurikulum vokasi di Indonesia. Data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2016 menyebutkan ada 33.482 badan usaha musik di Indonesia yang mengungkapkan standar pendapatan minimum pelaku musik sebesar Rp 3 juta lebih.

"Pertanyaannya apakah angka tersebut terkait dengan eksistensi profesi musisi? Meski kalau dilihat data Bekraf tahun 2016, kontribusi sektor musik ke Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,48 persen," ujar Anang.

Tidak hanya itu, ada disparitas tajam antara subsektor televisi dan radio (8,27 persen) dan kuliner (41,40 persen) dengan subsektor musik. Padahal televisi-radio dan kuliner memanfaatkan instrumen musik.  

“Pada akhirnya berbagai persoalan tersebut erat kaitannya dengan politik hukum pemerintah dalam memposisikan musik dalam bentuk kebijakan hukum,” kata Anang Hermansyah. (*)