Tempo.Co

Komisi II Sepakat Dibentuk Pansus untuk Mengakhiri Konflik BP Batam
Rabu, 13 Maret 2019
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron mengatakan bahwa spirit pasal 1 hingga pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) Tahun 1960 jangan sampai hilang.

INFO DPR - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron menegaskan pihaknya akan membentuk Pansus untuk mengakhiri konflik BP Batam, FTZ (free trade zone) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang belum selesai sampai hari ini, dan mengalami tumpang-tindih aturan.  

“Jadi, setelah Komisi II DPR menerima masukan dari beberapa kali rapat dengan berbagai pihak terkait, akhirnya sepakat akan membentuk Pansus Batam ini,” kata Herman di Gedung DPR, Selasa, 12 Maret 2019.

Hal itu disampaikan saat Rapat Dengan Pendapat (RDP) Ketua Dewan Pakar Bidang Hukum Kadin Kota Batam Ampuan JM. Situmeang, dan Ketua Umum Kadin Batam, Jadi Rajagukguk.

Sebelumnya Ampuan mengusulkan pembentukan undang-undang (UU). Sebab, jika diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres), maka masalah ekonomi di Batam ini tak akan pernah selesai.

“Hanya dengan UU yang bisa selesaikan masalah Batam secara komprehensif,” katanya.

Pasca reformasi diterbitkan UU No. 53 tahun 1999 tentang pembentukan Kota Batam sebagai daerah otonom, dan BP Batam ikut di dalamnya, untuk mengatur hubungan kerja. Lalu, terbit PP No 46 Tahun 2007 sehingga menjadi kawasan perdagangan bebas (FTZ). Kemudian terbit PP No.46 tahun 2007 tentang Otorita Batam dan BP. Batam menjadi pelabuhan bebas Batam.

Darmin Nasution menjadi Ketua Dewan Bebas Kawasan (FTZ), yang sebelumnya dijabat oleh Gubernur sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK). Padahal, kata Ampuan, untuk merubah FTZ ke KEK itu harus menunggu 70 tahun terhitung sejak tahun 1973.

BP Batam memang tidak bubar, tetapi dikendalikan oleh Pemkot Batam sebagai Ex –Officio. “Pak Darmin mengatakan pasca pilpres masalah ini akan diberlakukan sebagai dasar legalisasi jabatan Ex-Officio itu. Padahal, Ex-Officio itu tidak diamanahkan oleh UU No.23 tahun 2014 tentang otonomi daerah,” jelas Ampaun lagi.

Ampuan mengakui jika pemerintah pusat boleh membentuk FTZ, namun bukan dengan jabatan Ex-Officio. “Maka, solusi Batam sebagai pelayanan publik adalah dengan membentuk Otsus Batam pada tingkat provinsi, yang membawahi Kota Batam, meski itu sulit karena ada moratoroum pembentukan daerah otonomi baru (DOB),” ujar Ampuan.

Jadi Rajagukguk malah menyebut Walikota Batam dengan keputusan saat ini menjadi ‘Robin Hood’. Sehingga banyak mengalihkan dan membebaskan status tanah negara untuk kepentingan lain. “Padahal, itu bukan kewenangan Pemkot Batam, melainkan menteri terkait. Karena itu, kami minta Komisi II DPR selamatkan Batam,” ungkapnya. (*)