INFO DPR - Industri Farmasi Indonesia belum mempunyai bahan baku lokal yang bisa dipasok oleh industri kimia dasar nasional dalam mendukung kepentingan produksinya. Sebagian besar bahan baku yang digunakan oleh BUMN farmasi masih diimpor dari luar negeri.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Inas Nasrullah Zubir menilai, hal ini harus menjadi perhatian pemerintah.
“Jika memang diperlukan, maka pemerintah harus berupaya membangun suatu perusahaan BUMN yang bergerak di bidang industri kimia dasar, agar bisa menyuplai bahan baku yang diperlukan oleh industri farmasi nasional," ucap Inas saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Kantor PT Biofarma (Persero) di Bandung, Jawa Barat, Rabu, 13 Maret 2019.
Indonesia pernah menjadi salah satu negara penyuplai vaksin polio terbesar di dunia. Hampir dua pertiga kebutuhan dunia akan vaksin polio dalam bentuk oral disuplai dari perusahaan Biofarma di Indonesia.
Namun sejak tahun 2016, penggunaan vaksin polio suntik lebih diutamakan oleh lembaga kesehatan dunia WHO. Dalam resolusi terbarunya, WHO menyatakan bahwa vaksin polio oral tidak lagi digunakan. Kondisi tersebut jelas berdampak pada menurunnya pendapatan yang diperoleh PT Biofarma. Meskipun hingga saat ini vaksin oral masih tetap digunakan di negara-negara berkembang.
"Ketika dunia sudah beralih menggunakan vaksin polio suntik, seharusnya Biofarma ikut mengembangkan hal tersebut, supaya kita mampu menjadi penyuplai vaksin polio yang murah dengan tetap mengikuti perkembangan teknologi yang baru," ujar Inas.
Sementara itu, terkait rencana pemerintah untuk melakukan holding terhadap empat perusahaan farmasi BUMN, yakni PT Kimia Farma, PT Biofarma, PT Indofarma, dan PT Phapros, Inas menilai kebijakan tersebut tidaklah tepat. Menurutnya, kalau tujuannya hanya untuk mengembangkan bahan baku, maka holding itu tidak ada manfaatnya. Seharusnya yang dilakukan terhadap empat perusahaan farmasi itu dengan dilakukan merger saja.
“Hal inilah yang harus dipikirkan kembali oleh pemerintah, khususnya Kementerian BUMN. Bukan perusahaan yang bergerak di bidang yang sama yang dilakukan holding, kalau seperti itu lebih baik merger saja. Kontruksi pemikiran Kementerian BUMN inilah yang harus dibenahi. Holding BUMN harus jelas arahnya dan harus juga menguntungkan holding-nya, bukan holding yang semau-maunya," kata Inas. (*)