Tempo.Co

Hasil Survei Dikhawatirkan Menjadi Alat Propaganda
Kamis, 21 Maret 2019
Diskusi dialektika demokrasi kali ini bertajuk " Menekar Efektivitas Debat Capres dalam Meraih Suara " di gedung DPR RI. Kamis,14 Maret 2019.

INFO DPR - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan jika saat ini perkembangan lembaga survei berhimpitan dengan lembaga konsultan politik. Kondisi ini akan menimbulkan kekacauan yaitu menimbulkan conflict of interest, dan menjadi alat propaganda. Menurut Fadli, diam-diam lembaga survei sudah mempunyai kolaborasi, mendapatkan nilai kontrak, dibayar sekaligus menjadi konsultan politik. Hal ini dikatakannya dalam diskusi dialektika demokrasi bertajuk ‘Survei Pemilu, Realita atau Rekayasa?’ bersama Anggota Komisi XI DPR RI Maruarar Sirait, Direktur SMRC Sirojuddin Abbas dan sosiolog Universitas Ibnu Choldun Musni Umar di Gedung DPR,  Kamis, 21 Maret 2019. 

“Oleh karena itu, lembaga survei –tidak semua- dapat menjadi predator demokrasi dan mafia politik,”kata Fadli.

Dia menyontohkan hasil survei sejumlah lembaga independen dalam tiga pilkada besar yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam sejumlah survei, ketika Partai Gerindra mendukung pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno, Saiful Mujani Research and Consulting SMRC mempublikasikan kemenangan mereka sebesar 47,9 persen. Angka itu tidak jauh berbeda dengan lembaga survei lain. Namun hasil di pilkada menyebutkan kemenangan Anies dan Sandi sebesar 57,9 persen. Di Jawa Barat pasangan Sudrajat – Ahmad Syaikhu berada di angka 7,9 persen, namun pada hasil perhitungan suara, kendati tidak menang pasangan ini meraih perolehan suara mencapai 28,7 persen. “Kenapa bisa terjadi selisih hingga 400 persen,” kata Fadli. Begitu juga di Jawa Tengah, pada pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah diperkirakan hanya meraih 22,6 persen namun usai pemilu diketahui pasangan ini meraih 41,2 persen suara.

Fadli menilai, dalam survei, penyelenggara tidak terbuka kepada publik, apakah lembaga survei itu dibiayai oleh pihak lain. Atau bekerja independent.

Selain itu, Fadli melihat jika metodologi yang dilakukan lembaga survei saat ini sudah semakin kuno. Sebab, asymmetric information sudah terjadi lewat televisi atau media lain. “Harus ada evaluasi total terhadap metodologi,” katanya.

Di sisi lain, Fadli Zon melihat jika selama ini lembaga survei telah menjadi bandwagon effect untuk menjadi alat kampanye dan imagology. Dia berharap ke depan ada  aturan-aturan yang tegas terhadap lembaga survei yang diatur oleh asosiasi.  

“Dengan survei, seakan-akan pemilu itu sudah selesai dan sudah diketahui siapa yang menang, padahal hasilnya sangat berbeda,” ujar Fadli.

Anggota DPR RI FPDIP Maruarar Sirait menilai dalam sebuah survei pemilu, hasil dari survei dan hasil yang ditemukan di lapangan sering terjadi perubahan. Oleh karena itu, kendati hasil survei dan di lapangan berbeda, dalam pertarungan menjelang pemilihan umum, calon presiden nomor urut 1 Joko Widodo dan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto telah menjadi role model yang baik,

“Keduanya tahu menempatkan bagaimana saat bertarung dan kapan bersatu,”ujarnya.

Sementara itu, Sirojuddin Abbas menyebutkan dalam beberapa prediksi lembaga survei, angka kemenangan calon presiden di sejumlah pemilu sejak 2004 tidak jauh meleset dari hasil akhir perhitungan Komisi Pemilihan Umum. Kondisi itu, diartikan bahwa beberapa lembaga survei di Indonesia sudah cukup disiplin dengan tradisi keilmuan dengan dasar metodologi dan scientific. Menurutnya untuk melihat kredibilitas lembaga survei harus melihat reputasi atau rekam jejaknya terdahulu, sumber daya manusia, jujur dalam menyampaikan presentas dan real atau tidak.

Berbeda dengan pemikiran itu, Musni Umar mengatakan jika dirinya tidak percaya pada semua hasil survei.

“Saya resah dan tidak percaya hasil survei karena setiap hari saya turun ke lapangan dan wawancara dan melihat fenomena apa yang terjadi di masyarakat. Dan itu semua berbeda dengan hasil survei,” ujar Musni. (*)