INFO DPR - Menyosialisasikan nilai-nilai kebangsaan yang bukan menjadi kebutuhan langsung masyarakat itu tidak mudah. Hal ini dialami sendiri oleh Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon setelah lima belas tahun sebagai wakil rakyat. Dikatakan Effendi dalam sebuah diskusi di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis, 21 Maret 2019, banyak kendala dalam pelaksanaan sosialisasi ini. Sebab, kegiatan itu tidak sepenuhnya menjadi gerakan ideologis seluruh elemen masyarakat.
"Berbeda dengan kebutuhan setingkat nilai-nilai agama. Ada keyakinan dan kekuatan diri untuk menjalankan ajaran agama dengan khusuk. Ada keinginan terhadap keselamatan, kesejahteraan, rezeki, berbuat baik, dan akhirnya masuk surga. Mendengar dan melaksanakannya," tuturnya.
Dia mengakui seringkali sosialisasi ini hanya menjadi aktivitas formalitas dan kewajiban bagi Anggota DPR dan MPR.
"Di awal pelaksanaan sosialisasi tepatnya, di era Taufik Kiemas, saya pernah menyarankan metode penyampaiannya jangan one way, tetapi interaksi ala kelompencapir yaitu kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa, di era Orde Baru zaman pak Harto," ungkapnya.
Padahal masyarakat dan generasi muda butuh pengetahuan dan pendalaman tentang bangsa dan negara sebagai modal yang akan mampu memperkuat mental mereka kelak. Sehingga ada generasi muda yang berkualitas, tidak hanya secara intelektual tapi juga secara mental dan spiritual.
Dia berharap generasi muda di Jepang nantinya bisa menjadi contoh anak muda di Indonesia. Nilai kebangsaan anak muda di Jepang sangat tinggi, tidak mudah terpengaruh, mental kuat, dan etos kerja yang sangat baik.
Effendi Simbolon mengakui kalau hal-hal yang sangat mendasar menanamkan ideologi berbangsa dan negara, justru belum dipahami khalayak luas.
"Maka dari itu saya berharap, baik pimpinan MPR dan DPR harus mampu menyempurnakan ini," kata Effendi Simbolon.
Pernyataan Effendi Simbolon itu disambut positif oleh Ketua Komunitas Anak Bangsa (KAB), Agnes Lourda Budidarma. Menurut penilaiannya, secara tidak langsung apa yang disampaikan Effendi itu sebagai self critic. (*)