INFO DPR - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mendukung revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran agar diselesaikan sebelum DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada Oktober 2019. Pembahasan akan dilakukan di Badan Legislasi DPR RI, agar bisa lebih mendalam dan komprehensif.
"Masalah kedokteran tidak hanya berada di sistem pendidikannya saja, melainkan juga bermuara kepada pelayanan. Harus ada link and match antara pendidikan dan pelayanan, sehingga bisa melahirkan para tenaga medis yang terampil, sesuai dengan kaidah profesi kedokteran dunia," ujar Bambang Soesatyo saat menerima Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di ruang kerja Ketua DPR RI, Jakarta, Senin, 25 Maret 2019.
Pengurus Besar IDI yang hadir antara lain, Dr. Daeng M Faqih (Ketua Umum), Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG (Ketua Purna), Dr. Mahmud Ghaznawie, Ph.D, Sp.PA (Dewan Pakar), Dr. M. Nasser, Sp.KK,LLM, D.Law (Dewan Pakar), Dr. Mariya Mubarika (Ketua Bidang Advokasi Lembaga Legislatif), Dr. Farabi El Fouz, Sp.A, M.Kes (Sekretaris Bidang Advokasi Lembaga Legislatif) dan Dr. Muhammad Akbar (Ketua Bidang Pendidikan, Riset, dan Alih Teknologi Kedokteran).
Pengurus IDI menyampaikan kegelisahan mereka terkait kemelut di dunia kedokteran. Keberadaan UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang dimaksudkan meningkatkan standar mutu kedokteran, justru menimbulkan berbagai disharmoni. Ada ketidakharmonisan antara sistem pendidikan dengan ujian kompetensi. Akibatnya, banyak mahasiswa kedokteran tidak lulus Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang merupakan syarat memperoleh sertifikat kompetensi dan profesi, sebagai pengganti ijazah kedokteran.
Keberadaan UKMPPD yang memberikan kewenangan kepada kampus menentukan kelayakan seseorang menjadi dokter, dinilai IDI tidak sejalan dengan ketentuan Kedokteran Dunia yang mengacu pada World Federation for Medical Education. Karena berdasarkan aturan lembaga tersebut, kampus hanya berwenang di pendidikan dasar medis. Sementera profesi dipegang kolegium. Selain itu, IDI menilai adanya Dokter Layanan Primer (DLP) bisa mengancam posisi 50.000 lebih dokter umum yang sudah mengabdikan dirinya di berbagai daerah.
Mendengarkan persoalan itu, Bambang Soesatyo mengajak IDI menjadi mitra kerja aktif DPR RI dan pemerintah, sehingga bisa memberikan masukan yang menyeluruh terhadap revisi UU Pendidikan Kedokteran. Jangan sampai hasil revisi menjadi mentah kembali lantaran tidak sesuai dengan aspirasi para tenaga medis.
Jumlah dokter yang mencapai 172.000 merupakan aset berharga yang perlu terus ditambah jumlahnya, sehingga bisa memaksimalkan peningkatan kesehatan masyarakat. Sebagai profesi yang mempunyai kekhususan (lex specialis), dokter juga harus dilindungi profesinya.
Ketentuan tersebut merupakan implementasi dari UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dengan demikian jika ada sebuah kasus terjadi kepada tenaga medis, penyelesaiannya dilakukan terlebih dahulu di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
"Karena profesi dokter dan tenaga kesehatan punya kekhasan, sistem pendidikan dan pelayanannya juga perlu perhatian serius. DPR RI akan menjadikan masukan IDI sebagai bahan yang sangat penting, Kita akan bedah kembali pasal per pasal yang ada di UU No 20 Tahun 2013. Jika memang tidak sesuai dengan aturan kedokteran dunia, maka harus dicabut. Jangan sampai karena aturan yang salah, dokter-dokter Indonesia malah tidak diakui dunia," kata Bambang Soesatyo. (*)