INFO DPR - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan setelah DPR secara resmi bergabung dengan gerakan global menuju rezim keterbukaan, Open Parliament menjadi penanda babak baru praktik berdemokrasi di Indonesia. Hal ini disampaikan Fadli ketika menjadi keynote speaker dalam Asia Regional Meeting on Open Parliament di Nusa Dua, Bali, Kamis, 4 April 2019.
Melalui keterangannya secara tertulis, Fadli mengatakan pertemuan yang dihadiri delapan negara ini adalah hasil kerjasama DPR RI dengan Westminster Foundation for Democracy (WFD). Pertemuan regional ini merupakan babak baru dari komitmen Open Government Partnership (OGP) yang diluncurkan pada 20 September 2011 lalu di sela-sela pertemuan Majelis Umum PBB oleh kepala negara dan pemerintahan dari delapan negara pendiri, yaitu Brasil, Indonesia, Meksiko, Norwegia, Filipina, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat.
Ketika OGP diluncurkan, isu keterbukaan parlemen sama sekali belum tersentuh. Keterbukaan parlemen mulai jadi tema penting pada 2013, ketika kelompok kerja tematis baru tentang keterbukaan legislatif diperkenalkan pada KTT OGP di London. Sejak saat itulah parlemen juga dituntut untuk mempromosikan rezim keterbukaan. Beberapa negara, seperti Perancis dan Georgia, bahkan memperkenalkan rencana aksi nasional mereka sendiri.
"Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa di sebagian besar negara demokrasi, hanya kurang dari setengah warga negara yang mempercayai parlemen. Bahkan di Amerika Serikat, misalnya, menurut data 2018 yang dikumpulkan oleh Gallup, kepercayaan pada legislatif hanya mencapai 40 persen saja," tuturnya.
Di Indonesia, menurut sejumlah survei, tingkat kepercayaan publik juga masih rendah. Survei menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap parlemen sekitar 49 persen. Sesudah DPR RI melakukan Deklarasi Parlemen Terbuka, pada Desember 2018 lalu, kepercayaan publik terhadap parlemen mencapai 60 persen.
“DPR kini memang telah secara resmi bergabung dengan gerakan global menuju rezim keterbukaan. Open Parliament sendiri menandai babak baru dari praktik berdemokrasi di negeri kita,” kata Fadli Zon.
Sesudah melalui berbagai fase berdemokrasi, mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan kini kembali menjadi demokratis terbuka, Indonesia terus mencari bentuk pelembagaan demokrasi yang cocok untuk membangun kultur berdemokrasi yang lebih kuat dan terkonsolidasi.
“Saya kira setiap perjalanan demokrasi memang memiliki caranya sendiri. Tak ada satupun ukuran yang cocok untuk semua. Demokrasi harus dibangun di atas kearifan lokal kita masing-masing dan disesuaikan agar sesuai dengan konteks sosial, budaya dan politik nasional kita yang berbeda-beda,” ujar Fadli Zon. (*)