Tempo.Co

Dibuka, FGD 'Penyempurnaan Blue Print Implementasi Reformasi DPR’
Kamis, 18 April 2019
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah membuka FGD 'Penyempurnaan Blue Print Implementasi Reformasi DPR'.

INFO DPR - Pasca amandemen konstitusi Indonesia, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai masih ada konstitusi yang bertentangan dengan undang-undang dasar. Bahkan jumlahnya tidak sedikit, setelah amandemen konstitusi baru, ada 88 persen ketentuan baru, sisanya 12 persen ketentuan masih harus ditutupi agar sesuai konstitusi.

Dikatakan Fahri ketika menjadi keynote speaker focus group discussion (FGD) ‘Penyempurnaan Blue Print Implementasi Reformasi DPR’ di Gedung DPR RI, Kamis 18 April 2019, dengan amandemen konstitusi, parlemen telah memiliki sejumlah kewenangan yang dulunya milik eksekutif. Seperti melakukan fit and proper test pejabat, termasuk kewenangan anggaran di legislasi. Meskipun diakuinya kewenangan eksekutif masih ada yang lebih kuat seperti kewenangan presiden membuat perpu yang dapat diterbitkan dan berlaku dalam satu hari.  

Power eksekutif di law making power itu lebih kuat daripada legislative," tutur Fahri. 

Selain itu, dia menyontohkan bagaimana ketidakhadiran eksekutif menentukan sebuah pembahasan rancangan undang-undang.  Situasi itu juga terjadi dalam pembahasan budgeting

Oleh karena kata Fahri, pemisahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) adalah murni memisahkan undang-undang politiknya. Pemisahan dalam UU DPRD bertujuan agar pemerintah membuat DPRD menjadi mandiri, sehingga terwujud tata kelola pemerintahan di kabupaten/kota yang berjalan dengan baik, lebih bersih.

“Kemandirian DPRD menjadi independen dan mengawasi eksekutif dalam perencanaan anggaran, politik di daerah maupun di ujungnya,” kata Fahri.

Dalam paket perundangan itu tidak kalah penting adalah pembahasan peradilan etika lembaga perwakilan. Sehingga lembaga DPR tidak abuse of power dan jika itu terjadi dapat diproses secara internal.

“Tujuannya agar tidak merusak lembaga perwakilan,” ucap dia.

Institusi kepolisian, militer bahkan penyelenggara pemilu telah memiliki lembaga peradilan internal yang menjadi etika lembaga itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan peradilan etika di lembaga perwakilan.

Fahri berharap draft 'Penyempurnaan Blue Print Implementasi Reformasi DPR’ sudah selesai bulan ini sehingga masih ada waktu untuk mengajukannya dalam rapat pimpinan, meneruskan kepada badan eksekutif sehingga dapat menjadi undang-undang sebelum masa kerja parlemen periode ini berakhir September 2019.

“Dengan RUU ini, lubang dari satu kamar dari cabang kekuasan legislatif beres. Ke depan yudikatif. Bagaimana agar fungsi kehakiman dan kesekretariatan terpisah, sekarang ini yang dominan adalah panitera. Kamar eksekutif ini juga dibantu, sebab sinerginya selama ini tidak ada yang mengatur. Demi negara yang kuat, demokrasi yang mapan demi anak cucu,” kata Fahri.

Sebelumnya Kepala Pusat Perancang Undang Undang Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsum mengatakan seminar ini adalah rangkaian program tim implementasi DPR yang dikomandoi Fahri Hamzah. Lanjutan dari kegiatan ini adalah ada desiminasi kepada fraksi-fraksi dan memberikan masukan terhadap blue print ini pada Agustus 2019.

“Semoga ada masukan untuk penyempurnaan dokumen blue print ini terutama paket rancangan undang-undang sebagai penguatan lembaga perwakilan,” ucap Inosentius.  

Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan transformasi ini sejalan dengan visi dan misi DPR untuk menjadikannya sebagai lembaga perwakilan modern yang berwibawa dan kredibel. Untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Penguatan lembaga perwakilan rakyat ini dikeluarkan dalam enam paket yaitu RUU tentang Hubungan Antar Lembaga Perwakilan, RUU tentang MPR, RUU tentang DPR, RUU tentang DPD, RUU tentang DPRD dan RUU tentang Etika Lembaga Perwakilan. (*)