Tempo.Co

Harus Kompak Melakukan Perubahan di Parlemen
Kamis, 18 April 2019
Dalam diskusi disebutkan, untuk membangun parlemen perlu melakukan reorientasi dan paradigma.

INFO DPR - Ketegangan politik di era pemilu mulai dari kampanye telah menunjukkan bahwa semua teori tidak berlaku membangun institusi demokrasi. Menurut Dosen Jurusan Sosiologi Fisip UGM Aris Sujito, orang begitu mudah mendelegitimasi, begitu mudah mengabaikan seluruh instrument perangkat kebijakan dan hukum yang bekerja dalam nalar politik.

“Di situ pula kita meyakini terjadi akselerasi demokrasi di Indonesia tetapi terjadi involusi institusi demokrasi Indonesia. Kalau parlemen kita tidak mempunyai percepatan maka ini adalah bagian dari kecenderungan Indonesa yang jarang memperhatikan perkembangan institusi demokrasi,” ujar Aris ketika menjadi pembicara focus group discussion tentang ‘Penyempurnaan Blue Print Implementasi Reformasi DPR’ di Gedung DPR RI, Kamis 18 April 2019   

Menurut Aris, institusi seperti parlemen cenderung dipersepsikan secara negatif karena politisinya tidak juga mempunyai perhatian membangun dirinya, tidak punya perhatian membangun governance di partai politik termasuk di parlemen. Sengkarut tentang tata kelola, kewenangan perlemen itu tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas control dan produktivitas parlemen.

“Padahal jika bicara institusi di parlemen banyak problem yang melekat di dalam dirinya, fragmentasi kepentingan dan orientasi tidak mudah karena kekompakan karena orientasi di parlemen itu berbeda-beda. Kalau mau membangun lembaga, DPR itu reorientasi dan paradigm harus terus dilakukan. Kalau nanti parlemen itu fasilitasnya akuntabel dan reorganisasi tetapi kalau mainset itu tidak progresif dengan fungsinya seperti apa maka dia tidak akan menghasilkan produktivitas baru,” kata Aris. 

Sementara itu, narasumber Guru Besar Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo mengatakan perubahan itu tidak berada dalam ruang vakum di dalam dewan belaka. Namun ada juga perubahan global yang berkaitan dengan institusi.

“Setiap negara tidak lagi punya otoritas penuh dalam membuat kebijakan, otoritas policy itu diputuskan oleh kita tetapi juga dipengaruhi oleh lembaga internasional dan regional. Kita juga harus siap menghadapi persoalan ini sehingga dewan dalam meratifikasi undang-undansebagai akibat dari perjanjian internasional bisa juga memiliki kemampuan cepat untuk menyetujui atau tidak,” kata Eko.

Dalam diskusi yang dipandu Peneliti Utama di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Ujianto Singgih ini, Eko Prasojo mengatakan bahwa Indonesia harus memperbaiki sistem pemilihan di parlemen, political parties system, civil society dan peran media yang sangat kuat. Perbaikan institusi dan proses di parlemen ini adalah satu dari institusi dan proses yang dibutuhkan untuk menciptakan democratic governance dan kualitas dari proses itu sendiri.

Sementara itu, Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Sekolah Bisnis – IPB Syamsul Maarif mengatakan jika sistem pendukung seperti secretariat mempunyai peran besar dalam perubahan dan berlangsungnya institusi di DPR. Kondisi ini berbeda dengan Perancis, di mana setiap anggota parlemennya memiliki pengetahuan akademis yang didapat dari dua perguruan tinggi. Oleh karena kondisi itu berbeda dengan anggota di parlemen Indonesia maka dibutuhkan penguatan dari staf ahli maupun sekretariat.

“Sistem pendukung akan memperkuat sistem perlementer kita,” kata Syamsul Maarif. (*)