Tempo.Co

Sanksi Tegas untuk Petugas PPS yang Melanggar UU Pemilu
Senin, 22 April 2019
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan Panitia Pemungutan Suara (PPS) wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum.

INFO DPR - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tempat-tempat pemungutan suara (TPS) agar senantiasa bekerja secara profesional, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Karena, di tangan Panitia TPS-lah muara pertumbuhan demokrasi Indonesia dipertaruhkan.

Menurut Bambang di Jakarta, Minggu, 21 April 2019, salah satu hal krusial yang harus dilakukan KPU adalah menjalankan amanat Pasal 391 Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

“PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum," ujar dia.  

Pasal 508 UU Pemilu juga memberikan sanksi tegas kepada setiap anggota PPS yang tidak mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya. Ancamannya dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

"Ketentuan tersebut dimaksudkan agar rakyat dapat terpenuhi haknya dalam memperoleh informasi seputar Pemilu. Di sisi lain juga dapat menjaga akuntabilitas dan transparansi kinerja setiap personel KPU di lapangan dari berbagai tingkatan. Tidak hanya itu, potensi terjadinya kecurangan seperti penggelembungan maupun penghilangan suara juga dapat diminimalisir," kata Ketua DPR RI ini.

Dikatakan Bambang Soesatyo, banyak modus terjadinya kecurangan dalam Pemilu. Salah satu modus kecurangan yang kerap terjadi adalah antar caleg internal partai itu sendiri. Semisal, pencurian melalui persengkokolan pengurangan pencatatan di C1 sebelum dikirim ke kecamatan atau PPK. 

Modus pertama misalnya, perolehan suara di TPS yang tercatat di C1 adalah 53 suara, tiba-tiba berubah menjadi tiga suara. Sedangkan 50 suara lagi tiba-tiba masuk ke caleg di atasnya sesama satu partai yang semula hanya tujuh suara tiba-tiba melonjak menjadi 57 suara. 

"Begitu seterusnya di tiap-tiap TPS. Ini biasa disebut kecurangan melalui pencurian suara sesama caleg satu partai. Praktik ini biasanya dilakukan dengan melakukan persekongkolan dengan petugas PPS di TPS-TPS yang sudah dikondisikan," tutur Bambang.

Modus kedua, lanjutnya, dengan melakukan penggelembungan suara atas nama caleg agar memperoleh suara tertinggi di partainya dengan menggeser suara partai ke perolehan atas nama caleg. Praktik kecurangan ini kerap luput dari pengamatan caleg satu partai lainnya yang sebenarnya sangat dirugikan. 

"Modus inipun tidak mungkin bisa dilakukan tanpa kerjasama atau terjadinya persekongkolan dengan petugas PPS dan saksi partai yang telah dikondisikan oleh oknum caleg tersebut," ujar dia.

Dikatakannya, kecurangan-kecurangan antar caleg yang bekerjasama dengan oknum petugas PPS tersebut jangan dibiarkan. Tingginya partisipasi politik warga dalam memberikan hak suaranya yang mencapai 80 persen, harus dijaga kesuciannya oleh KPU. Penegak hukum atau polisi juga diminta tegas untuk menjerat oknum PPS dan oknum caleg yang curang itu dengan pasal pidana pemilu.

"Kekuatan demokrasi Indonesia terletak pada partisipasi politik warga yang tinggi, netralitas TNI, Polri dan profesionalitas KPU, serta partai politik yang terus menunjukan peningkatan fairness-nya dalam menjalankan pemilihan umum yang jujur,” ujar Bambang Soesatyo. (*)