INFO DPR - Dunia pendidikan di Indonesia masih mengalami beragam masalah, salah satunya kesejahteraan tenaga pendidik. Padahal, kesejahteraan guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 8 Mei 2019, mendesak pemerintah untuk menyelesaikan masalah tunjangan guru yang masih menjadi persoalan di banyak tempat.
“Ada beragam jenis tunjangan guru, yang pengelolaanya masih miss-management, saling tunjuk tanggung jawab,” ungkap Fikri.
Masalah semakin pelik ketika muncul isu penghapusan tunjangan guru oleh Kementerian Keuangan di beberapa daerah beberapa waktu silam. Padahal, seharusnya persoalan manajemen keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah bukan menjadi masalah guru.
“Hak guru itu seharusnya diberikan, karena ketika ketika guru berdemo, dampaknya akan menjadi luas ke peserta didik dan kualitas pendidikan secara umum. Kita minta untuk cairkan, karena kita tahu daerah masih punya anggaran sisa atau bahasa Kemenkeu dana ‘mengendap’ yang dapat digunakan untuk membayar tunjangan guru,” jelasnya.
Selain itu, Fikri menyebutkan kesusahan yang dialami guru-guru di daerah 3T (tertinggal, terdepan , dan terluar). Menurut perundangan, guru PNS maupun non-PNS yang mengajar di daerah 3T mendapatkan tunjangan khusus yang besarannya mencapai satu kali gaji pokok.
“Namun, faktanya masih banyak guru di daerah 3T yang tidak mendapatkan insentif,” kata Fikri.
Banyak guru di 3T belum menerima insentif lantaran data yang diterima Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak valid. Kemendikbud beralasan jika data guru yang diterima berasal dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
"Mosok iya tidak kelar-kelar selama bertahun-tahun,” tutur dia.
Administrasi penyaluran dana tunjangan bagi guru ditetapkan melalui Surat Keputusan Penerima Tunjangan Profesi (SKTP) oleh Kemendikbud juga masih menjadi masalah. Penetapan itu berdasarkan pembaruan data pokok pendidikan (dapodik) oleh sekolah dan guru bersangkutan, yang mesti divalidasi oleh dinas pendidikan setempat. Seringkali persoalan muncul karena lambatnya proses input dan validasi yang berjenjang tersebut, selain masalah teknis seperti akses internet dan human-error.
“Sehingga, pencairan dana tunjangan guru menjadi terhambat, atau bahkan hangus. Padahal dalam beberapa kasus, tunjangan ini hanya bisa diterima setahun sekali, dari semestinya yang dua kali tiap semester. Kejadian ini seperti terjadi di Sampang, Madura saat seorang guru madrasah mengeluhkan dana tunjangan profesinya hilang di bank. Setelah diinvestigasi pihak berwenang, diketahui terjadi salah input data penerima,” katanya. (*)