INFO DPR - Undang-undang pidana yang baru akan menjadi keputusan politik nasional. Sebutannya nanti bukan lagi kitab undang-undang hukum pidana melainkan undang-undang hukum pidana.
“Itulah pertaruhan kita, identitas kita, harga diri kita. Hampir 100 tahun kita merdeka, tetapi masih kita gunakan sebuah undang-undang pidana legacy dari penjajah,” kata Anggota Komisi III DPR RI Taufiqulhadi, di Gedung DPR RI, Rabu, 3 Juli 2019.
Menurut Taufiqulhadi, jika ada usulan revisi undang-undang pidana yang diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat, biasanya berorientasi pada asing. Bahwa dianggap, baik di negara asing itu baik juga untuk Indonesia.
“Saya ingin memberitahukan bahwa kita, Indonesia, memiliki semua nilai. Nilai-nilai itu kita curahkan kepada rancangan undang-undang hukum pidana kita sekarang ini. Apakah ada kekurangan mungkin saja. Tetapi, kekurangan itu bisa diperbaiki di perjalanan,” ujarnya.
Menurutnya, jika ada pasal yang tidak sesuai dapat diperbaiki. Tindakan itu sesuatu hal yang biasa. Tidak ada masalah jika dilakukan beberapa kali perubahan.
“Setiap undang-undang pidana di negara mana pun saya melihat ada perubahan dan itu wajar saja,” tutur Taufiqulhadi.
Akan tetapi, patut dipahami jika dalam panitia kerja (panja) Panja RUU Hukum Pidana itu terdiri dari beberapa fraksi, kemudian hadirnya pemerintah dan DPR sebagai legislator. Anggota fraksi dan panja sangat beragam dari agama islam, kristen, buddha, dan sebagainya. Sehingga ketentuan dalam undang-undang itu nanti tidak akan membuat agama tersebut atau kelompok minoritas tertindas karena norma yang telah dibuat.
"Tidak ada sama sekali. Jadi, kalau orang beranggapan itu melampaui estimasi, jadi beyond estimation, menurut saya itu adalah tidak tepat. Karena apa? Kita tidak pernah berpikir seperti itu. Kita menghendaki agar semua agama di Indonesia terlindungi,” katanya.
Dalam pembahasan ini, Taufiqulhadi berharap, semuanya selesai sebelum kegiatan anggota dewan memasuki masa reses. (*)