INFO DPR - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa kepemilikan masyarakat adat terhadap tanah ulayat sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Untuk itu, negara wajib memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat sepanjang masih diakui, masih hidup, ada institusi dan masyarakat dan lembaga yang menaungi mereka untuk mengelola atau mengusahakan tanah yang dimiliki.
Oleh karena itu, Komisi II DPR RI meninjau Provinsi Kalimantan Tengah guna menginventaris wilayah mana yang berhak menggunakan dan menguasai atas tanah ulayat, agar masyarakat adat tidak terpinggirkan. Nantinya (tanah ulayat) akan diatur dalam RUU Pertanahan.
"Agar tidak memunculkan masalah dan juga konflik tentang pertanahan," ungkap Anggota Komisi II DPR RI Abdul Hakam Naja di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya, Kalimantan Tengah belum lama ini.
Selain itu, dia menyarankan agar tanah yang hak guna usaha (HGU) sudah abis, tidak produktif atau terlantar kemudian diambil alih oleh negara dan tidak termanfaatkan, sebaiknya diberikan kepada masyarakat yang bisa mendayagunakan secara produktif.
Syarat untuk mendapatkan hak tersebut, masyarakat yang memang tinggal di tanah negara dan bisa mendayagunakan secara produktif, dilakukan secara kolektif, kolegial, dan komunal. Itulah yang kemudian diberikan dan menjadi TORA atau Tanah Objek Reforma Agraria.
"Di sinilah pentingnya, mereka bisa punya tempat tinggal, bisa tempat untuk bertani, beternak, dan kegiatan usaha lainnya dengan mempunyai penguasaan terhadap TORA," ucap Hakam.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo berpesan jangan sampai nantinya program TORA di salah gunakan. Yang dulunya tidak ada penduduk, kemudian berbondong-bondong didatangi penduduk dan dimasukkan ke dalam TORA.
"Yang jelas, TORA diperuntukkan bagi masyarakat adat yang sudah berdomisili berpuluh-puluh tahun," kata Firman.
Firman menginginkan agar masyarakat adat juga mendapatkan kepastian hukum. Jangan sampai nantinya ketika mengelola tanah ulayat, masyarakat adat berurusan dengan aparat penegak hukum karena dianggap melakukan pelanggaran. (*)