INFO DPR - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam, meminta agar pabrik kertas jangan lagi mengimpor waste paper (kertas skrap) dari luar negeri sebagai bahan baku pembuatan kertas. Lantaran beberapa waktu lalu ditemukan kertas skrap yang diimpor tercampur dengan sejumlah limbah berbahaya.
“Data yang kami miliki menunjukkan bahwa pabrik kertas di Indonesia baru bisa menyerap sampah dalam negeri kurang lebih 7 juta ton, tidak lebih dari 15-20 persen limbah sampah. Seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pabrik-pabrik kertas di Indonesia, jadi kenapa harus impor,” kata Ridwan saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR RI mengunjungi PT Pakerin di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Jumat, 5 Juli 2019.
Tim Kunspek Komisi VII DPR RI diperlihatkan kertas skrap yang diimpor oleh PT Pakerin. Ia mendapati adanya lapisan plastik pada pada kardus-kardus impor. Hal inilah yang menjadi sorotan karena masyarakat menerima sampah-sampah plastik yang tercampur pada impor kertas skrap yang kemudian diolah di lingkungan masyarakat itu sendiri.
“Seharusnya pabrik-pabrik kertas itu memanfaatkan sampah yang ada di dalam negeri saja. Caranya perusahaan kertas bekerja sama dengan pemerintah daerah di seluruh indonesia yang memiliki kawasan industri kertas. Kemudian, perusahaan memberikan semacam CSR atau corporate social responsibility pada Pemda atau masyarakat yang mengumpulkan sampah, nanti sampah kertas tersebut dibeli oleh pabrik-pabrik kertas,” ucapnya.
Skema seperti ini, menurutnya sangat mungkin untuk dilakukan di Jawa Timur yang memiliki sekitar 11 ribu pabrik kertas. Pihak perusahaan bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah di kota-kota besar, seperti Surabaya, Malang, dan Jember.
“Dibandingkan perusahaan impor raw material (bahan baku), lebih baik beli di dalam negeri saja agar bisa memutar roda pertumbuhan ekonomi masyarakat. Mereka dikumpulkan, mereka diminta setor sampah-sampahnya untuk bahan baku pembuatan kertas,” ujar Ridwan.
Impor kertas skrap sebenarnya dibolehkan oleh Menteri Perdagangan. Namun, harus ada pemeriksaan secara ketat oleh penegak hukum di pelabuhan sehingga tidak ada oknum yang memanfaatkan.
“Saya kira aturannya mesti ditegakkan, jadi seharusnya setiap ada impor yang sudah dikasih izin oleh Kemendag dan Kementerian LHK, harusnya barangnya diperiksa dulu di pelabuhan, jangan langsung diserahkan begitu saja. Karena biasanya bobolnya oleh pihak pelabuhan. Akhirnya isi impor kontainer itu tidak sesuai dengan dokumen, isinya beracun semua,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta agar fungsi koordinasi antarinstansi pemerintah lebih serius dalam menangani impor. Sehingga tidak dimanfaatkan oleh oknum yang meraup keuntungan dari kegiatan impor yang seharusnya baik, namun kenyataannya berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat. (*)