Tempo.Co

DPR Dorong Presiden Beri Amnesty pada Baiq Nuril
Rabu, 10 Juli 2019
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan jika evaluasi UU ITE harus diusulkan dari masyarakat.

INFO DPR - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, mendukung upaya yang dilakukan Baiq Nuril untuk mencari keadilan dengan meminta amnesti kepada presiden. Oleh karena itu, rencana kedatangan Baiq Nuril dan kuasa hukumnya ke Gedung DPR RI, khususnya menemui Komisi III akan disambut dengan tangan terbuka.

“Kalau hari ini Baiq Nuril akan datang ke Komisi III dengan senang hati dan tangan terbuka kami menerimanya melalui Komisi III dan kita nanti dengar apa hasil diskusi dan upaya-upaya lain,” ujar Bambang di Gedung DPR RI, Rabu, 10 Juli 2019.

Bambang mengakui jika upaya lain tidak ada lagi, kecuali meyakinkan presiden untuk mempertimbangkan memberikan pengampunan. Sebab, Baiq Nuril yang dijerat Undang-Undang ITE telah melakukan upaya hukum, namun kandas hingga tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung (MA).

“Saya mendengar dari Pak Menteri, proses ke presiden itu sedang berjalan dan saya juga berharap dari gedung parlemen, presiden mau mempertimbangkan upaya warga negara kita yang bernama Baiq Nuril untuk dipertimbangkan diberikan amnesti atau pengampunan,” ujar Ketua DPR RI.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, mengatakan terkait kasus Baiq Nuril, dalam memutuskan perkara itu MA tidak mengikuti tren yang sedang didesain pembentuk Undang-Undang. Di mana, ke depan, konstitusi Indonesia mengedepankan keadilan restoratif, keadilan di mana kepentingan tidak hanya pelaku, tetapi juga korban dan juga masyarakat secara luas. 

“Nampaknya dalam kasus Baiq Nuril, MA pola pikirnya masih berbasis keadilan retributive atau keadilan distributive. Keadilan retributive itu artinya ada anggapan perbuatannya pidana, salah maka harus dihukum,” ujar Arsul.

Arsul tidak menampik jika ada harapan masyarakat dalam sebuah bentuk ekspresi keadilan dan restorative. Sementara, MA tampaknya lebih melihat terpenuhinya unsur-unsur dalam pasal.

“Kalau dalam bahasa Inggrisnya surrounding circumstances, yakni kenapa si terdakwanya melakukan itu, itu tidak dilihat. Kalau itu dilihat, bisa menjadi faktor yang meringankan. Paling tidak begitu,” kata Arsul.

Dalam hal pengampunan, dikatakan Arsul memang ada perdebatan persoalan di kasus Baiq Nuril. Di mana mengemuka bahwa instrumen grasi tidak bisa dipergunakan karena vonis yang diberikan di bawah batas minimal yang bisa dimintakan untuk grasi. Sementara instrumen yang tersedia adalah amnesti.

“Itu pun masih ada perdebatan karena amnesti ini selama ini instrumen konstitusional yang dimiliki oleh presiden untuk memberikan pengampunan, tetapi yang terkait dengan kejahatan politik, kejahatan terhadap keamanan negara, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Akan tetapi, menurut Arsul Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954, tidak memberikan batasan pemberian pengampunan secara strict seperti itu. Jadi, kalau tidak ada, tidak ada salahnya jika instrumen amnesti dicoba diajukan.

“Kan prosedurnya, tentu Baiq Nuril atau kuasa hukumnya mengajukan kepada presiden. Presiden sebelum memberikan keputusan minta pertimbangan kepada DPR, berdasarkan pasal 14 UUD 1945, kewajiban kami di DPR untuk mendukung presiden memberikan amnesti,” ujar Arsul. (*)