INFO DPR - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera, mengapresiasi langkah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI atau DKPP yang memberikan keputusan tegas terhadap dua komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik dan Ilham Saputra. Dua komisioner KPU itu telah dicopot dari tugasnya sebagai koordinator di divisinya masing-masing. Menurut Mardani kepada media di Gedung DPR RI, Kamis, 11 Juli 2019, langkah DKPP ini menunjukkan bahwa dalam demokrasi Indonesia tidak ada satu pun institusi yang dominan.
“KPU punya otoritas besar, tetapi tetap diawasi Bawaslu, diawasi DKPP. Kami apresiasi terhadap DKPP yang sudah memberikan keputusan tegas,” kata Mardani.
Kendati Ilham Saputra telah dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik KPU serta Evi Novida Ginting Manik dari jabatan sebagai Ketua Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi, Diklat dan Litbang KPU RI, dipastikan pekerjaan KPU tidak terganggu. Terutama saat Indonesia akan memasuki masa pilkada serentak 2020.
Secara teknis, menurut Mardani dalam pekerjaannya KPU bersifat kolektif kolegial. Dari tujuh komisioner, jika ada dua yang tidak menjadi kepala divisi biasanya diganti oleh teman-teman dari sekretariat jenderal. Dengan demikian, organisasi berjalan seperti biasa.
Dikatakan Mardani, pencopotan dua komisioner KPU ini merupakan tamparan bagi KPU pusat agar lebih berhat-hati. Terutama pada kasus yang menjadi alasan dicopotnya Evi Novida. Proses rekruitmen di daerah menjadi sorotan Mardani. Sebab, siklus rekruitmen KPUD kabupaten/kota maupun KPUD provinsi rumit sekali.
“Ini menjadi pelajaran buat kami di Komisi II dan KPU. KPU harus menyampaikan fakta ini sehingga kita bisa memberikan rekomendasi agar proses rekruitmen dimundurkan saja. Sekarang setiap empat tahun saja, jadi pada 2023 sudah diganti,” ujarnya.
Usulan ini, katanya akan disampaikan setelah proses peradilan pemilu di Mahkamah Konstitusi selesai pada 9 Agustus. Dengan demikian, dapat dilakukan evaluasi pemilu secara menyeluruh mulai dari korban jiwa sampai panjangnya masa kampanye. Kemudian, mengenai disparitas tingkat partisipasi pilpres lebih tinggi ketimbang tingkat partisipasi pileg.
“Nah, itu ditambah lagi dengan permasalahan teknis waktu pelaksanaan yang serentak. Buat saya ide besarnya mulai dipisah pemilu nasional dengan pemilu lokal. Ketika kemarin satu yang tidak mengemuka, yaitu isu lokal tidak ada. Rata-rata isunya pusat. Pusat pun tidak ada isu partai, misalnya ini punya platform pembangunan. Adanya capres semua. Seolah-olah negeri ini ditentukan oleh figure capres cawapres, padahal domain kabupaten/kota, provinsi berbeda desainnya dengan kompleksitas di pusat,” kata Mardani. (*)