Tempo.Co

Pembahasan RUU Pertanahan Sebaiknya Ditunda
Selasa, 16 Juli 2019
Dalam forum legislasi disampaikan agar RUU Pertanahan dibahas secara komprehensif.

INFO DPR - Karena pentingnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan, pembahasannya diharapkan tidak dilakukan tergesa-gesa. Bahkan, pembahasan RUU Pertanahan harus dapat dibahas oleh Anggota Legislatif periode 2019-2024. Sebab, pembahasannya harus melibatkan pemerintah maupun dari pihak terkait lainnya.

“RUU tentang Pertanahan ini tuntutan mutlak yang harus ada karena undang-undang yang kita miliki masih terbatas pada Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960,” kata Komisi II DPR Henry Yosodiningrat, dalam diskusi forum legislasi ''RUU Pertanahan: Menyejahterakan atau Sengsarakan Rakyat?” bersama Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi dan Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto di Ruang Media Center DPR RI, Selasa, 16 Juli 2019.

Oleh karena itu, pembahasan ketentuan ini harus dilakukan dengan publik secara terbuka. Jangan sampai masyarakat mengira ada "titipan". Dia menyontohkan bagaimana selama ini kepemilikan hak guna bangunan yang selama ini 25 tahun diusulkan menjadi 40 tahun.

“Padahal jika investor ingin menanamkan modal, 25 tahun mempunyai kepemilikan HGB saya rasa sudah cukup,” kata dia.

Sementara itu, menurut Viva Yoga perlunya RUU Pertanahan ini lantaran setidaknya ada 100 undang-undang yang bersentuhan dengan pertanahan. Selain itu, ada 500 lebih peraturan perundangan yang tumpang tindih terkait pertanahan, ada sekitar 250 konflik atau sekitar 7,5 juta hektare tanah berada dalam persoalan.

Viva Yoga menyatakan hal yang sama agar pembahasan RUU ini tidak terburu-buru. Semua pihak terkait harus dilibatkan, baik itu pemerintah, masyarakat, asosiasi kayu, Kadin, maupun pihak lainnya. Selain itu, RUU ini sebaiknya ditangani oleh panitia khusus.

“RUU Pertanahan adalah domain Komisi II dalam bentuk panja. Akan tetapi, karena tanah adalah syarat berdirinya negara seharusnya dibahas di pansus bukan panja. Pembahasan ini akan melibatkan stakeholder dan banyak kementerian. Dan, ini sarat dengan kebijakan antarsektoral yang penuh dengan kepentingan,” tutur Viva Yoga.

Purwadi mengakui jika dalam RUU tersebut, masih banyak pertanyaan yang akan dilontarkan. Kehadiran dirinya sebagai representasi dari sektor kehutanan menyontohkan bagaimana RUU Pertanahan di pasal 1 hingga pasal 62 mengatur hak pengelolaan dalam konteks pertanahan. Namun, pada pasal 63 dan seterusnya dimunculkan pembahasan terkait kawasan.

“Jadi, ada muncul pertanyaan, di mana sebelumnya tidak ada penjelasan tentang kawasan baik di batang tubuh atau lainnya,” kata Purwadi.

Oleh karena itu, pihak dari kehutanan ingin meminta penjelasan lebih detail terkait kawasan yang dimaknai sebagai kawasan hutan sebagai ekosistem adalah barang publik yang dinikmati orang.

“RUU ini mengacu pada Undang-Undang Agraria, mengatur tentang hak milik, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan. Dalam beberapa kali kesempatan, kami konsultasi ke Bapak Dewan dan sudah menyampaikan secara resmi agar RUU ini ditunda dulu. Lantaran masih perlu dilakukan konsultasi dan dialog,” kata Purwadi. (*)