INFO DPR - Kekerasan seksual hari ini sangat mengkhawatirkan lantaran telah sampai ke anak-anak, seperti kasus pencabulan di TK hingga bully di sekolah secara oral. Menurut Anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka, kondisi itu dapat diartikan bahwa secara verbal orang melakukan pelecehan yang dampaknya hingga ke arah psikologis.
“Pencabulan memang fisik sudah diatur di KUHP, tetapi terkadang pembuktiannya sulit. Nah, terakhir misalnya kayak kasus Baiq Nuril susah juga dijelaskan dalam fenomena hukum akhirnya diambil UU ITE,” kata Diah dalam diskusi forum legislasi bertajuk "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terganjal RKUHP?" di Media Center DPR RI, Selasa, 30 Juli 2019.
Karena banyaknya kasus tindak kriminal menyangkut kekerasan seksual yang susah dieksekusi secara hukum, kemudian DPR membangun RUU inisiatif, yaitu penghapusan kekerasan seksual. Konsentrasi dalam rumusan RUU ini adalah kebutuhan nyata dalam penanganan korban.
“Kalau kemudian berkembang menjadi polemik tentang bagaimana paradigma kita melihat persoalan kekerasan seksual ini, nah, kami di Komisi VIII belum membahas DIM-nya satu persatu pasal. Rencananya mungkin setelah masa reses ini. Kemarin setelah pemilu, kita menerima DIM lagi dari pemerintah beberapa poin yang diperbaiki. Komisi VIII akan mulai membahas pasal demi pasal,” ujar Diah.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI, Taufiqulhadi, mengatakan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus ada limitasi dan parameter yang jelas. RUU itu tidak boleh bergerak sendiri dan lepas dari KUHP.
“Saya melihat bahwa memang akan terjadi potensi tabrakan. Yang satu mengatur hak dan perlindungan perempuan, sedangkan KUHP melindungi kepentingan negara dan menentukan pertanggungjawaban pidana secara menyeluruh,” ujar Taufiqulhadi yang memastikan jika RUU KUHP akan disahkan sebelum kerja DPR RI periode 2014-2019 berakhir.
Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan, Masruchah, mengatakan isu yang diangkat dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya perempuan, tetapi juga menyangkut HAM, anak dan lainnya. Awalnya, pembahasan RUU ini sudah disetujui seluruh partai. Dia menyayangkan kemudian menjelang pemilu ada partai yang menolak.
“Artinya ini inkonsistensi, baik di dalam Baleg maupun saat paripurna ketika pemutusan menjadi RUU prioritas yang harus dibahas oleh Komisi VIII, ”kata Masruchah.
RUU ini urgent lantaran di dalamnya juga harus mengatur pencegahan yang melibatkan peran negara, gerakan sipil, hingga peran korporasi. Selain itu, RUU ini mengatur pemulihan. (*)