INFO DPR - Setiap undang-undang diharapkan tetap mencakup aspek-aspek dimensi disabilitas. Dengan demikian, hak hakiki kaum disabilitas tetap terlindungi. Dikatakan Anggota komisi IX Nova Riyanti Jusuf, usai menjadi narasumber dalam Seminar Nasional bertajuk "Pendekatan Gender dan Disabilitas dalam Legislasi Bidang Ketenagakerjaan" di Ruang Abdul Muis, Gedung DPR RI, Rabu, 7 Agustus 2019, Undang-Undang Ketenagakerjaan harus direvisi untuk kepentingan disabilitas.
“Makanya ini harus ada fungsi pengawasan, penganggaran, kemudian fungsi legislasi dari Komisi IX. Artinya, semua aspek-aspek itu harus tercakup ada dimensi disabilitas, khawatirnya undang-undang itu hanya secara general atau umum,” ujar Nova.
Dia menyontohkan bahwa saat ini tidak ada "rumus" anggaran, misalnya, untuk up-skilling bagi 2.000 orang disabilitas sebesar Rp 5 miliar. Artinya, untuk disabilitas harus ada formulasi anggaran di undang-undang.
Kemudian, terkait tenaga kerja. Saat ini Undang-Undang Ketenagakerjaan belum disinkronkan dengan Undang-Undang Disabilitas. Mengingat, Undang-Undang Ketenagakerjaan sudah lebih lama hadir sementara Undang-Undang Disabilitas baru disahkan pada 2016.
“Ada hal-hal yang harus disinkronkan, diharmonisasi antara undang-undang supaya jangan saling membatalkan,” ujarnya.
Di sisi lain, muncul opsi untuk membuat aturan baru, yakni di bidang pengawasan ketenagakerjaan. Menurut Nova, pengawasan ketenagakerjaan tidak harus dalam bentuk Undang-Undang, tetapi dapat dalam bentuk peraturan pemerintah atau lainnya. Upaya-upaya itu dapat dilakukan untuk mendukung disabilitas di bidang ketenagakerjaan. Namun, untuk saat ini yang paling optimal digunakan adalah Undang-Undang Disabilitas.
“Karena di sana ada pengakuan secara hakiki sebagai seorang manusia, tetapi ada juga hak ‘mengunci’. Minimal pemerintah harus memberikan hak kerja minimal lima persen kemudian satu persen untuk yang swasta,” katanya.
Di samping itu ada Undang-Undang Kesehatan Jiwa yang memberikan kesempatan pada orang dengan masalah kejiwaan-bukan gangguan jiwa-, tetapi berpotensi mempunyai disabilitas fisik atau mental untuk supaya tetap produktif di masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mengatakan dalam pembuatan undang-undang apapun harus menjamin bahwa tidak akan mendiskriminasi satu kelompok tertentu termasuk penyandang disabilitas yang selama ini tersisihkan atau tidak terdengar suaranya. (*)