Tempo.Co

Tidak Ada Larangan Menteri Rangkap Jabatan di Partai
Kamis, 08 Agustus 2019
Dalam diskusi forum legislasi disampaikan bahwa tidak ada ketentuan yuridis bahwa seorang menteri dilarang rangkap jabatan sebagai ketua umum partai.

INFO DPR - Anggota Komisi I dari Fraksi PPP DPR RI, Saifullah Tamliha memastikan bahwa selama mengikuti proses kampanye Joko Widodo atau menjadi calon presiden RI hingga kemudian menjadi presiden terpilih 2019-2024, mereka tidak pernah mendengar janji politik Jokowi yang melarang ketua umum partai menjadi menteri dalam kabinet yang akan disusunnya. Hal ini disampaikan Saifullah dalam diskusi forum legislasi bertema "Periode Kedua Jokowi, Masihkan Larangan Aturan Rangkap Jabatan Diberlakukan?" di Ruang Media Center DPR RI, Kamis, 8 Agustus  2019. Selain Saifullah, narasumber lain, yakni Anggota Komisi III dari Fraksi PKS DPR RI, Nasir Djamil, Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi PAN DPR RI, Viva Yoga Mauladi dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia, Pangi Syarwi Chaniago.

“Kami yakin, Ketua Umum PPP bisa menempati tugas itu (menjadi menteri),” kata Saifullah.

Kendati demikian, tidak dipungkiri jika kebijakan untuk melarang ketua umum partai untuk duduk di kabinet bertujuan baik agar menteri berkonsentrasi dalam bekerja.

Senada dengan pernyataan itu, Viva mengakui jika tidak ada aturan yang melarang menteri rangkap jabatan sebagai ketua umum partai. Sesuai UUD 1945, penunjukan menteri adalah hak prerogratif presiden. 

“Jadi, untuk itu, kami di luar itu, semuanya diserahkan ke Presiden asal menteri-menterinya itu betul-betul merupakan cerminan dari figur yang memiliki kapasitas, integritas, dan kapabilitas dan juga punya kemampuan, leadership di dalam mengelola kementerian atau lembaganya itu,” ujar Viva.

Ketua umum partai itu menjadi bagian dalam kabinet juga kebijakan presiden. Sebab, ini berkaitan dengan kinerja menteri yang membutuhkan waktu,tenaga, pikiran dan logistik yang sangat luar biasa.

Sementara itu, Nasir mengatakan jika PKS berharap ketika seorang menteri menjadi seorang pengurus partai, sebaiknya bersedia menanggalkan posisinya walaupun tidak ada ketentuan yuridis soal itu.

“Supaya lebih fokus mengelola kementeriannya. Supaya partainya tidak menjadi beban,”ujar Nasir.

Menurut Pangi, hak prerogratif presiden memilih menteri di kabinetnya tidak menjadi persoalan, baik dilihat dari sudut narasi politik maupun secara yuridis, kecuali jika dilihat dari inkonsistensi yang dianggap menggangu. Selama periode sebelumnya, sejumlah menteri yang berasal dari partai, selalu menanggalkan jabatan di partainya. Pengecualian ini terjadi pada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang juga menjabat Menteri Perindustrian. (*)