Tempo.Co

Dua Opsi Ekstrim Paket Pimpinan MPR
Selasa, 20 Agustus 2019
Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan paket pimpinan MPR masih mengerucut pada dua opsi.

INFO DPR - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan saat ini paket pimpinan MPR masih mengerucut pada dua opsi. Dia berharap, pembahasan paket kepemimpinan MPR ini sudah final sebelum pelantikan presiden.

“Memang ada dua sudut. Kalau kita berpijak pada dua sudut menjadi sama-sama ekstrim,” ujar Arsul di Gedung DPR RI, Selasa, 20 Agustus 2019.

Pertama, paket kepemimpinan MPR dikembalikan seperti pada 1999 di mana setiap fraksi punya wakil sebagai pimpinan MPR. Kedua, kembali ke jumlah delapan orang. Akan tetapi, jika dikembalikan menjadi delapan, berarti ada dua yang tidak mendapat jatah kursi di pimpinan MPR.

Dijelaskan Arsul, MPR adalah lembaga permusyawaratan yang dibutuhkan untuk hal-hal yang sifatnya bukan politik praktis. MPR harus ditempatkan pada posisi equal.

“Kalau ada pimpinan MPR, ada fraksi-fraksi MPR. Kalau fraksi dia tidak dapat, kan posisinya menjadi tidak equal. Karena itu, ada pemikiran supaya politik nasional terutama soal strategis kenegaraan ke depan itu lebih kondusif, lebih mencerminkan ada ruang power sharing,” ucap Arsul.

Sementara itu, Undang-Undang MPR/DPR/DPD/DPRD atau MD3 mengatur bahwa untuk periode 2019-2024 jumlah pimpinan MPR dikembalikan menjadi lima orang. Jika mengacu pada aturan itu, maka apabila ada opini untuk mengembalikan paket pimpinan menjadi delapan orang, pernyataan itu dipastikan akan dikritisi sebagai sebuah ikhtiar upaya dari partai politik untuk bagi-bagi jabatan.

“Inilah yang saya kira di antara partai-partai itu sedang berkomunikasi, berdiskursus juga, mungkin ada fraksi yang berpandangan, ‘Tidak perlu itu. Yah, sudahlah ngga usah itu, ditambah memandang bagi-bagi jabatan’,” ujarnya.

Dia mengemukakan bahwa 10 sekretaris jenderal partai koalisi-termasuk PPP-telah melakukan pembahasan dua malam lalu. Menurut Arsul, masing-masing telah merespons aspirasi paket kepemimpinan MPR termasuk usulan yang dikemukakan Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara itu, Partai Gerindra juga telah memberikan pandangan sepakat jika ada satu tempat yang menjadi wadah bermusyawarah di MPR.

Opsi lain yang dapat dilakukan di luar paket tersebut, yakni melakukan revisi Undang-Undang MD3. Akan tetapi, upaya revisi itu harus dipastikan berjalan lancar dan on time sebelum pelantikan presiden. Usul revisi Undang-Undang MD3 harus dibicarakan dengan Badan Legislasi DPR mengingat undang-undang tersebut adalah usul inisiatif pemerintah yang harus melalui harmonisasi.

“Kan harus ada pimpinan MPR per tanggal 20 Oktober. Nanti siapa yang mau memimpin pelantikan presiden? Itu kan harus ada? Kan harus kita kerjakan sekarang,” kata Arsul. (*)