INFO DPR - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai perpindahan ibu kota Jakarta nyaris tidak masuk akal. Dia menyarankan pemindahan itu dilakukan pada kantor pemerintahan saja.
“Makanya saya bilang, jangan pindah ibu kota. Pindahkan lokasi kantor pemerintah saja,” ujar Fahri di Gedung DPR RI, Rabu, 21 Agustus 2019.
Simbol-simbol negara seperti Istana Negara, Gedung DPR RI, tidak mudah dipindahkan begitu saja. Instansi yang paling dimungkinkan untuk pindah, Fahri mengatakan, adalah kantor Kementerian Dalam Negeri, supaya pejabat atau pegawai di pemerintah daerah tidak lagi berurusan dengan Kemendagri di Jakarta.
Pemikiran Bung Karno saat membangun ibu kota Jakarta memfokuskan kegiatan wilayah kantor pemerintahan dari kawasan Senayan hingga ke Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
“Sebelahnya itu nanti tempat-tempat kita melihat museum dan sebagainya. Nah, itukan maksudnya Bung Karno dulu. Tetapi, sekarang karena manusia sudah banyak, kantor bisnis sudah banyak, oke pindahin ke satu tempat,” ucap Fahri.
Pemindahan itu dapat dilakukan di daerah yang dekat dengan ibu kota. Jika ibu kota pindah ke tempat lain di luar Jawa, dia tidak dapat membayangkan berapa sekolah yang dibutuhkan, rumah sakit, perumahan dan lainnya.
“Sudahlah itu enggak mungkin,” kata Fahri.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, mengatakan tidak bisa memisahkan pemindahan ibu kota secara fisik, administrasi, dan sebagainya. Pemikiran Presiden Joko Widodo, menurut Misbakhun adalah memindahkan ibu kota berarti memindahkan seluruh aktivitas pemerintahan. Yang ikut dalam kepindahan itu antara lain, presiden bersama menteri-menterinya di kota yang baru.
“Karena aktivitas pemerintahan kepala negara dan lembaga negara yang termasuk kementerian dan lembaga adalah sebuah aktivitas fisik di mana perlu daya infrastruktur dan sebagainya. Jika digabungkan dengan kegiatan ekonomi yang terpusat di Jakarta, daya dukung di sini juga sudah sangat terbatas,” ujar Misbakhun.
Menurut Misbakhun, rencana ini tidak akan mengganggu APBN. Indonesia adalah negara yang besar. Bahkan ada negara yang struktur dan kekuatan ekonominya di bawah Indonesia pernah memindahkan ibu kota.
“Kenapa seakan-akan kalau kita memindahkan ibu kota itu memerlukan energi yang begitu besarnya?. Enggak. Kita harus melihat realistis,” katanya.
Pada faktanya, kemacetan sudah sulit ditangani di ibu kota. Selain itu, aktivitas ekonomi di Jakarta sudah crowded yang harus dipisahkan dengan kegiatan pemerintah yang tidak begitu tinggi. Dari sisi psikologis kewilayahan dia melihat pemikiran ini bertujuan agar tidak ada sentralistik di Jawa saja. (*)