Tempo.Co

Pemindahan Ibu Kota Harus Diatur di Regulasi
Selasa, 27 Agustus 2019
Rencana pemindahan ibu kota harus dimulai dari pembuatan regulasi.

INFO DPR - Rencana memindahkan ibu kota Jakarta ke Kalimantan Timur harus diatur secara hukum. Sebab, saat ini ibu kota masih diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibu Kota NKRI, dan belum dicabut.

“Dalam undang-undang, ibu kota masih di Jakarta. Jika ada rencana memindahkan ibu kota maka harus dibuat dasar hukumnya,” kata Anggota Badan Legislasi DPR RI Firman Soebagyo ketika menjadi narasumber dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk ‘Imbangi Jokowi, Strategi DPR Percepat Pembuatan Regulasi?’ di Media Center DPR RI, Selasa, 27 Agustus 2019.

Menurutnya, dasar hukum bisa diinisiasi atau dimulai dari pemerintah sebab pemindahan ibu kota adalah rencana kerja pemerintah. Apalagi, saat ini sejumlah kementerian terkait sudah mendukung dengan ada perencanaan yang dilakukan oleh Bappenas.

“Kemenkumham dan Bappenas harus menyiapkan beberapa undang-undang yang harus direvisi. Dirumuskan undang-undang mana saja, sebab undang-undang itu akan menjadi rujukan juga untuk penyedia anggaran,” kata Firman.

Sementara itu, Anggota Badan Legislasi DPR RI Junimart Girsang, mengatakan yang perlu dikritisi adalah surat pemberitahuan dari presiden kepada DPR, melalui Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Bahwa surat yang diterima adalah surat pemberitahuan dengan lampiran kajian-kajian yang dilakukan oleh pemerintah selama tiga tahun belakangan ini. Dan, dalam kajian tersebut pemerintah menyampaikan aspek kebudayaan, sosial, ekonomi, dan yang paling penting adalah pencegahan bencana alam.

Dari surat tersebut yang paling penting disikapi adalah kebutuhan anggaran untuk pemindahan ibu kota Indonesia. Dirinya sudah melakukan dialog dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan mengatakan jika pemindahan ibu kota akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, yakni lebih dari Rp 147 triliun. Sementara, Presiden Jokowi mengatakan dibutuhkan anggaran sekitar Rp 466 triliun.  

“Saya sudah sampaikan kepada Ketua DPR dalam hal ini Bapak Bambang Soesatyo. Saya bilang, 'Pak Bambang kebetulan saya di Komisi Hukum, hitungan saya dengan para petinggi di Mabes Polri. Mabes Polri saja kalau dipindahkan membutuhkan biaya lebih kurang Rp 147 triliun',” katanya.

Dari segi aspek legislasi, Fraksi PDI-Perjuangan di DPR RI, kata Junimart, ingin jika ada percepatan dalam bentuk RUU. Namun, dia khawatir, jika pembahasan RUU itu tidak mungkin diselesaikan dalam waktu singkat, yakni sebelum periode kerja DPR 2014-2019 berakhir.

“Saya tidak yakin selesai. Kita tidak boleh diburu, DPR tidak perlu dipaksa untuk menyesuaikan. Kami harus betul-betul mencermati secara cerdas undang-undang pemindahan ibu kota ini,” kata Junimart.

Pengamat Politik UIN Jakarta Adi Prayitno mendukung rencana pemindahan ibu kota diatur permanen dalam undang-undang. Komitmen ini harus dikunci kuat agar ketika terjadi pergantian presiden atau pemerintahan, rencana kepindahan yang sudah menghabiskan banyak energi dan biaya tidak kembali ke nol.  

“Dibutuhkan regulasi yang permanen. Kebijakan presiden ini harus dikunci dengan ‘gembok’ yang kuat,” kata Adi.

Selain itu, dia mengingatkan bahwa kepindahan ibu kota tidak semudah memindahkan fisik semata. Akan tetapi dia berharap ada perencanaan matang oleh pemerintah sehingga ibu kota yang baru tidak sepi seperti di Canberra atau hanya menjadi persinggahan ‘kamar kost’.

“Seharusnya di ibu kota yang baru juga muncul peradaban baru,” kata Adi. (*)