INFO DPR - Delegasi DPR RI untuk ketiga kalinya kembali memperjuangkan isu krisis kemanusiaan Rohingya untuk dijadikan resolusi dalam Rapat Komite Eksekutif ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-40 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand. Usulan tersebut mengundang perdebatan panjang dalam sidang Komite Eksekutif AIPA. Myanmar kembali menolak dengan tegas isu krisis Rohingya masuk ke dalam pembahasan Sidang AIPA. Sementara sejumlah negara lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Laos, Kamboja, dan Singapura, lebih bersikap diam dan menyerahkan kepada mekanisme konsensus.
“Hari ini, 25 Agustus 2019, menandakan tepat dua tahun peristiwa genosida dan eksodus ratusan ribu orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Meski demikian, hingga kini situasi yang dialami para pengungsi Rohingya masih tak menunjukkan perbaikan. Upaya repatriasi yang sudah direncanakan sejak tahun lalu juga belum menunjukkan perkembangannya. Itu sebabnya, kami kembali mengajukan draf resolusi atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Resolusi ini harus menjadi bagian penting dari hasil Sidang Umum AIPA ke-40. Kita di ASEAN tak boleh menutup mata atas masalah Rohingya,” ujar Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon saat rapat Komite Eksekutif AIPA ke-40 di Bangkok, Thailand, Minggu, 25 Agustus 2019.
Pimpinan DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) itu memastikan, sikap Delegasi Parlemen Indonesia pada tahun ini masih sama dengan sikap pada 2017 dan 2018 lalu bahwa krisis Rohingya harus masuk ke dalam agenda pembicaraan Komisi Politik AIPA. Sebagai forum parlemen tertinggi di ASEAN, AIPA tak boleh mengabaikan isu kemanusiaan Rohingya yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya. Penolakan AIPA terhadap pembahasan isu Rohingya, menandakan forum AIPA tak memiliki komitmen terhadap perlindungan kemanusiaan dan perdamaian di kawasan.
“Kekhawatiran Myanmar dan sejumlah negara lainnya terhadap draf resolusi yang kami ajukan, karena dinilai mencampuri urusan internal anggota ASEAN lainnya, jelas tak beralasan. Draf resolusi ini kami ajukan untuk mendukung Myanmar dalam memulihkan perdamaian dan stabilitas, serta untuk memberi bantuan dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Saya sudah meninjau langsung para pengungsi di kamp Kutupalong Bangladesh dan mereka hidup sangat menderita. Lebih dari 1 juta pengungsi dan mereka membawa cerita mengerikan tentang pengusiran, pemerkosaan bahkan pembantaian,” kata Fadli.
AIPA sebagai forum parlemen yang paling dekat dengan sumber krisis di Rohingya, semestinya menjadi forum parlemen yang paling aktif dalam merespon krisis tersebut. Sebab, dalam forum parlemen yang lebih luas, seperti dalam Sidang Inter Parliamentary Union (IPU) ke-139 di St. Petersburg, Rusia, 2018 lalu, masyarakat internasional telah mengakui urgensi untuk mengatasi situasi melalui sebuah resolusi. Begitu juga halnya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang telah menerbitkan laporan serta resolusi atas situasi yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Sehingga, sangat aneh jika AIPA justru mengabaikan isu ini hanya karena hendak menjaga hubungan baik negara tetangga.
“Rapat Komite Eksekutif dibuka pukul 20.00 dan ditutup pukul 22.30 WIB. Dari 2,5 jam itu, sekitar 1,5 jam di antaranya berisi perdebatan mengenai draf resolusi yang diajukan parlemen Indonesia. Selama persidangan, kami melakukan persuasi kepada seluruh delegasi bahwa resolusi ini penting untuk dijadikan sebagai sikap AIPA. Sesudah berdebat alot, persidangan terpaksa dihentikan sementara agar terjadi mekanisme lobi. Namun, upaya itu gagal. Delegasi Parlemen Myanmar yang dipimpin Su Su Lwin, yang juga mantan ibu negara, tetap tidak mau membuka diri untuk menerima dan membahas resolusi yang diusulkan Indonesia,” ucap Fadli.
Sehingga, lanjut Fadli, sesuai dengan statuta AIPA, di mana mekanisme pengambilan keputusan di AIPA menganut sistem konsensus, akhirnya tak ada resolusi terkait isu Rohingya. Sebagai bentuk protes, Delegasi Parlemen Indonesia menolak untuk membahas resolusi lain dalam bidang politik.
Konsekuensinya, dalam sidang AIPA pada tahun ini tidak akan ada pembahasan isu di Komite Politik. Fadli menegaskan, sikap ini penting untuk ditunjukkan oleh Delegasi Indonesia, agar AIPA tidak sekedar menjadi forum seremoni dan basa-basi belaka.
“Krisis kemanusiaan di Rohingya adalah krisis kemanusiaan berat, tidak hanya untuk Asia Tenggara, tetapi untuk komunitas global. Itu sebabnya kami meminta agar AIPA tak lagi mendiamkan masalah ini. Itu posisi DPR RI dalam sidang AIPA kali ini,” ucap Fadli.
Dalam sidang bertugas untuk memutuskan agenda serta daftar resolusi yang akan dibahas dalam Sidang Umum AIPA ke-40 ini, Fadli didampingi dua Anggota DPR RI Amelia Anggraini dari F-NasDem dan Kartika Yudhisti dari F-PPP. Rapat dipimpin Ketua Parlemen Thailand H.E. Chuan Leekpai, yang juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand 1992-1995 dan 1997-2001. (*)